KOMPAS.com - Meski pemerintah melalui PP Nomor 19 tahun 2012 dan Permendikbud Nomor Nomor 64 tahun 2015 telah menetapkan sekolah sebagai bagian dari Kawasan Tanpa Rokok (KTR) namun nampaknya upaya ini belum optimal melindungi siswa dari bahaya konsumsi rokok.
Hal ini disampaikan dr. Grace Wangge, peneliti senior Pusat Kajian Gizi Regional (PKGR) Universitas Indonesia atau SEAMEO–RECFON (Southeast Asian Ministers of Education Regional Centre for Food and Nutrition) dalam acara peluncuran dua usulan kebijakan “Percepatan Penanganan Stunting dengan Pemanfaaatan Pajak dan Cukai Rokok” dan “Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Melalui Pengendalian Tembakau dan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Sekolah" di Jakarta (18/2/2020).
Dari analisis ulang atas data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang dilakukan SEAMEO RECFON diketahui anak-anak yang merokok sebenarnya menyadari, rokok berbahaya untuk dirinya, namun rokok tetap dianggap hal yang menyenangkan untuk mereka.
Baca juga: Pemerintah Diminta Manfaatkan Cukai dan Pajak Rokok untuk Atasi Stunting
"Sekolah memang menerapkan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) namun di luar siswa dengan mudah menemukan beragam iklan rokok dan perilaku merokok yang tidak sehat, bahkan di dalam keluarga," ujar Grace.
Berikut beberapa data menyedihkan terkait siswa dan konsumsi rokok berdasarkan olahan data PKGR UI:
Laporan menyebutkan anak usia di bawah 10 tahun sudah pernah mencoba rokok dalam berbagai bentuk. Sebanyak 32,1 persen siswa Indonesia di rentang usia 10-18 tahun pernah mencoba mengonsumsi produk tembakau ini.
Para perokok memulai konsumsi tembakau di usia dini. Sebanyak 43,4 persen di antaranya mulai merokok pada usia 12-13 tahun atau pada saat mengikuti pendidikan SMP (sekolah menengah pertama).
Laporan UI ini juga menyebutkan, uang saku memiliki peran dalam mendorong keinginan anak untuk mencoba rokok. Anak yang memiliki uang saku di atas Rp 50.000 per hari memiliki 4,74 kali kecenderungan mencoba rokok lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki uang saku.
Di antara siswa yang merokok antara usia 13-15 tahun, lebih dari separuhnya (58,2 persen) membeli rokok sendiri dari warung atau toko. Bahkan, 64,5 persen anak perokok mengaku tidak pernah dihalangi membeli rokok.
Anak siswa perokok membeli rokok secara eceran batangan (74,3 persen) dan seperempat lainnya membeli rokok per bungkus (24,6 persen).
Hasil penelitian yang dilakukan 14 universitas dan organisasi masyarakat lokal menunjukan, meski sekolah menerapkan KTR, siswa masih banyak terpapar iklan rokok dalam berbagai bentuk.
Baca juga: Bagaimana Asap Rokok Bisa Picu Kanker Paru-Paru?
Sebanyak 74,2 persen remaja terpapar iklan rokok melalui banner dan papan reklame berbayar, 46,6 persen terpapar iklan dalam acara olah raga dan 39 terpapar dari acara musik. Sekitar 14.7 persen bahkan pernah diberikan sampel gratis rokok.
Penelitian juga menunjukan 2 dari 3 anak sekolah mengaku menemukan orang yang merokok di lingkungan sekolah. Hasil studi menunjukan ajakan teman 4,8 kali memicu siswa untuk mencoba rokok.
Hasil data Riskedas 2013 menyebutkan Ibu yang merokok setiap hari dapat mendorong anak 1,98 kali merokok setiap hari. Sedangkan Ayah yang merokok setiap hari di rumah akan memicu 2,5 kali anak merokok setiap hari.
Sekitar 96 juta orang Indonesia merupakan perokok pasif dan 43 persen di antaranya adalah anak-anak di bawah 15 tahun.
Kementerian Kesehatan pada 2018 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi konsumsi rokok setelah China dan India dengan jumlah perokok mencapai 85 juta orang.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan jumlah perokok muda, di bawah 18 tahun, mencapai 9,1 persen atau meningkat dibandingkan data 2013 sebanyak 7,2 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.