Belajar Menghargai Batik Tulis Indonesia, Ada Nilai Luhur di Balik Batik

Kompas.com - 25/02/2020, 14:44 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

KOMPAS.com  - Sabtu (22/2/2020) siang, sejumlah orang baik muda maupun tua tampak serius memegang canting batik. Tangannya meliuk-liuk mencoba mewarnai lembaran kain hingga menjadi batik.

Mereka tampak berbincang dengan perajin batik tulis. Sesekali perajin batik tulis juga membantu mengarahkan tangan-tangan peserta Workshop Batik yang diselenggarakan di Synthesis Kemang-Marketing Gallery, Jakarta.

Workshop membatik tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Batik Indonesia. Saat itu, pelatihan dipimpin oleh instruktur dari Rumah Batik Komar Bandung, Komarudin Kudiya.

Baca juga: Dilirik Jokowi, Cerita Pengusaha Batik yang Bisa Raup Untung Rp 50 Juta di Pameran

Ketua Umum Yayasan Batik Indonesia, Yantie Airlangga mengatakan peserta workshop membatik ini berasal dari kalangan wartawan. Menurutnya, pelatihan untuk wartawan ini diberikan agar bisa membantu mensosialisasikan batik tulis kepada masyarakat.

"Kegiatan ini menjadi jendela masyarakat bagaimana mengenai proses membatik yang baik. Kami punya hastag #batikbeneran di mana kita mengedukasi batik, harus menghargai karya dari pembatik-bati langsung bukan print," kata Yantie kepada Kompas.com.

Bagi Yantie, batik tulis memiliki nilai yang luhur. Batik tulis adalah sebuah ungkapan jiwa dari para pembatik.

"Pembuatan batik itu proses yang benar adalah yang menggunakan lilin panas. Selain itu bukan batik. Batik itu juga dibuat penuh ungkapan jiwa," tambah Yantie.

Nilai dan semangat perjuangan batik tulis

Ketua Umum Yayasan Batik Indonesia, Yantie Airlangga KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO Ketua Umum Yayasan Batik Indonesia, Yantie Airlangga

Pembuatan batik memiliki proses yang panjang mulai dari penyiapan kain, pola batik, lilin panas, hingga mulai membatik. Kesabaran dan ketelitian penuh juga dibutuhkan dalam proses membatik.

"Membuat batik itu bukan speerti foto kopi. Membuat batik, itu penuh emosional dan penuh dengan ide-ide. Batik itu juga punya perasaan," kata Yantie.

Yantie menceritakan, batik memiliki kaitan emosional dengan perajin batik. Ide, tenaga, dan emosi dicurahkan dalam pembuatan batik.

"Batik itu ada nilainya karena cara pembuatannya rumit. Batik itu ada nyawanya. Batik itu sebuah ungkapan seni sendiri yang luar biasa," tambah Yantie.

Baca juga: Batik: Sejarah dan Ragam Batik

Dalam pembuatan batik tulis kini juga memiliki tantangan. Adanya batik cetak, lanjutnya, bisa membuat punah perajin batik tulis.

"Penjualan print yang tinggi bisa membuat punah pembatik-pembatik tulis. Justru ini kita ingin membuat pengrajin diberikan motivasi, dengan adanya batik cetak ini, mereka agak terganggu ya karena batik cetak lebih murah," ujar Yantie.

Sabtu (22/2/2020) siang, sejumlah orang baik muda maupun tua tampak serius memegang canting batik. Tangannya meliuk-liuk mencoba mewarnai lembaran kain hingga menjadi batik.KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO Sabtu (22/2/2020) siang, sejumlah orang baik muda maupun tua tampak serius memegang canting batik. Tangannya meliuk-liuk mencoba mewarnai lembaran kain hingga menjadi batik.

Yayasan Batik Indonesia saat ini melihat generasi millenial sudah mulai mencintai batik tulis. Yantie menyebutkan anak-anak muda sudah banyak menggunakan batik tulis untuk berbagai acara.

"Kami sudah melihat bibit-bibit baru sebagai penerus. Mereka yang penikmat batik dan juga ingin masuk ke dunia industri batik," ujar Yantie.

Yayasan Batik Indonesia mengajak masyarakat Indonesia aga mencintai batik tulis yang dibuat dari tangan-tangan perajin. Dengan itu, para perajin batik akan semakin percaya diri dan bersemangat memproduksi batik tulis.

"Batik tulis itu lebih berkarakter. Batik tulis itu punya cerita di dalam. Karya tangan itu nilainya jauh lebih indah," ujarnya.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau