BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Binus

Transformasi Digital Makin Marak, Ini Hal yang Diperlukan Perusahaan

Kompas.com - 22/09/2020, 15:37 WIB
Anissa DW,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, banyak hal yang telah berubah, salah satunya stereotip di dunia bisnis.

Dari sisi sumber daya manusia (SDM), para karyawan yang dulu terbiasa bekerja dari kantor kini bekerja secara remote dari rumah masing-masing. Bahkan, mungkin ada karyawan yang terpaksa memasang layanan internet di rumah. Pasalnya, kafe-kafe dengan WiFi gratis yang biasa menjadi tempat kerja secara jarak jauh tak melayani makan di tempat.

Sementara itu, perusahaan harus memutar otak agar mampu menjalankan bisnis di tengah wabah. Salah satu jalan paling memungkinkan adalah memanfaatkan teknologi digital.

Sebuah studi independen yang dilakukan Workday—penyedia peranti lunak untuk manajemen keuangan dan SDM—menggambarkan kondisi itu. Lewat riset berjudul Workday Digital Agility Index, Workday meneliti ketangkasan digital perusahaan-perusahaan dari sembilan negara, termasuk di Indonesia, selama masa pandemi.

Hasil penelitian itu menunjukkan, dari sekitar 900 pemimpin bisnis yang disurvei, sebanyak 93 persen perusahaan menjadikan transformasi digital sebagai salah satu prioritas usaha.

Kemudian, sebanyak 85 persen di antaranya memanfaatkan teknologi digital agar dapat menjalankan rencana bisnis selama pandemi Covid-19.

Meski demikian, empat dari lima atau sekitar 80 persen perusahaan mengalami kesulitan dalam mengubah rencana keuangan tahun 2020. Selain itu, sekitar 69 persen perusahaan juga mengaku kerepotan dalam menyesuaikan kembali struktur organisasi mereka.

Deputy Head of Doctor of Computer Science (DCS) Bina Nusantara (Binus) University Dr Ford Lumban Gaol mengatakan bahwa permasalahan utama yang dihadapi perusahaan-perusahaan itu adalah data. Menurutnya, selama ini masih banyak perusahaan membiarkan data mereka tersimpan di atas kertas saja.

Tak hanya itu, data perusahaan pun tersebar di banyak tempat sehingga pengambilan keputusan menjadi lambat, tidak efektif, dan kurang presisi. Bahkan, kerap kali salah alamat.

“Setiap transaksi itu kan menghasilkan data. Nah, data itu harus dipindahkan ke digital sehingga tidak lagi eksklusif. Semua divisi (dalam perusahaan terkait) harus tahu. (Data) harus lintas sektoral,” ucap Ford dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (21/9/2020).

Lebih lanjut, Ford mencontohkan, Binus sebagai sebuah perusahaan memiliki bisnis utama pendidikan. Untuk memperlancar bisnis, Binus memiliki divisi pendukung, yaitu marketing, keuangan, human resource development (HRD), dan sebagainya.

“Misal ada pertanyaan, ‘mahasiswa baru Binus paling banyak masuk di Maret atau September?’ Itu yang tahu orang marketing. Kalau ada pertanyaan lanjutan, ‘boleh tahu berapa revenue-nya?’ Yang tahu orang keuangan. Kalau (pertanyaan) ‘rata-rata IPK paling tinggi di semester berapa?’ Orang akademik yang tahu,” papar Ford.

Data yang menyebar tersebut, kata dia, membuat perusahaan bergerak lambat. Padahal, perusahaan harus bersaing dengan industri lain.

“Mau enggak mau perusahaan membutuhkan dasar dalam mengambil keputusan tertentu. Makanya, perusahaan melakukan transformasi digital,” ucap Ford.

Perlu persiapan dan tahapan

Transformasi digital, menurut Ford, tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba. Ada persiapan serta tahapan yang harus dijalankan. Tujuannya agar transformasi digital tidak kandas di tengah jalan atau hanya memakan biaya maksimal tanpa hasil setimpal.

“Perusahaan harus melakukan evaluasi diri dari sisi kebutuhan, timeline, dan man power. (Bagian) paling berat di sini sebenarnya karena perusahaan harus memutuskan go or not go,” ujarnya.

Selain itu, transformasi digital pun sebaiknya tidak dilakukan hanya karena perusahaan pesaing melakukan hal yang sama. Sebab, apa yang dilakukan pesaing belum tentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan itu sendiri.

Setelah hasil evaluasi yang obyektif selesai, transformasi digital harus dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, “merekayasa” ulang organisasi. Kedua, mengubah semua data perusahaan menjadi digital.

“Ketiga, evaluasi dari sisi enterprise arsitekturnya, seperti perangkat keras, infrastruktur, dan lain-lain,” papar Ford yang juga menjabat sebagai Ketua Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) Computer Society Indonesia Chapter.

Tahap berikutnya, yang merupakan tahap paling penting, adalah migrasi. Ford menjelaskan, pada tahap ini biasanya perusahaan akan menghadapi resistansi dari sumber daya manusianya, terutama dari karyawan generasi lama yang terbiasa melakukan semua hal dengan cara konvensional.

“Setelah migrasi, baru running. Di sini juga banyak tantangannya, terutama koordinasi dari satu bagian dengan bagian yang lain,” ujar Ford.

Apabila diperlukan, perusahaan bisa menyewa jasa konsultan sistem informasi (SI) yang kompeten dalam mengawal proses transformasi digital.

Sebagai informasi, untuk memilih konsultan SI, salah satu tolok ukur yang dapat digunakan adalah latar belakang pendidikan. Lazimnya, di luar negeri, konsultan SI harus terlebih dulu lulus kuliah program doktor ilmu komputer.

Kesiapan SDM

Masih mengutip riset yang sama, peran konsultan SI menjadi krusial karena salah satu tantangan utama dalam proses transformasi digital perusahaan adalah kurangnya kecakapan SDM dalam memanfaatkan sarana digital.

Digital transformation itu domainnya di sistem informasi. Peran orang SI ini dari sisi arsitekturnya,” kata Ford.

Ford menjelaskan, ketika melakukan rekayasa ulang, perusahaan perlu membuat blue print atau arsitektur baru. Blue print itu harus dirancang oleh orang yang tepat, yakni mereka yang menguasai ilmu sistem informasi, terutama SDM yang telah lulus program doktor ilmu komputer bidang sistem informasi.

“Mereka ini punya kemampuan dalam hal research-based problem solving. Karena tidak ada petunjuk untuk menyelesaikan masalah dalam industri saat ini (perusahaan) harus melakukan riset,” ujar Ford.

Semakin banyak perusahaan bertransformasi digital, peran pakar SI yang mampu menjembatani dunia industri dengan teknologi dan sains pun semakin dibutuhkan.

Untuk menjawab hal tersebut, Binus University merancang program Doctor of Computer Science (DCS) yang disesuaikan dengan kebutuhan pakar SI di dunia industri. Dengan begitu, link-and-match antara pengajaran di kelas dan kebutuhan industri akan SDM lulusan program doktor ilmu komputer bidang sistem informasi akan terjalin.

Sejak berdiri pada 2014, program DCS telah menerapkan pendekatan orientasi berbasis riset. Menurut Ford, pendekatan itu merupakan salah satu karakteristik yang membedakan program kuliah DCS Binus University.

Binus Doctor of Computer Science (DCS) membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menempuh pendidikan doktor ilmu komputer bidang sistem informasi Dok. Binus University Binus Doctor of Computer Science (DCS) membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menempuh pendidikan doktor ilmu komputer bidang sistem informasi

“Mahasiswa kami juga harus melakukan penelitian yang bersinggungan dengan bidang lain. Misalnya, di kami sendiri ada yang risetnya berkolaborasi dengan bidang kedokteran, meteorologi, dan pertanian,” ujarnya.

Program DCS juga memiliki kegiatan visiting professor dan sering melakukan kolaborasi riset dan publikasi bersama banyak peneliti dunia dalam konferensi internasional di bidang ilmu komputer.

Tak hanya itu, program DCS Binus University juga sudah membuahkan beragam kegiatan fostering and empowering melalui berbagai kegiatan riset, pengembangan, serta pengabdian masyarakat yang sesuai dengan tagline Binus University.

“Mahasiswa program DCS Binus University harus punya kontribusi nyata yang benar-benar bisa diaplikasikan. Lulus harus ada produk yang bisa dimanfaatkan masyarakat,” imbuh Ford.

Keunggulan lain dari program kuliah DCS Binus University, yakni warna industri yang lebih kental. Lebih dari 50 persen peserta didik merupakan praktisi.

“Kalau di tempat lain, praktisi itu umumnya hanya 5 persen sampai 10 persen saja. Paling banyak akademisi,” papar Ford.

Sebagian dari para praktisi tersebut mengambil program DCS karena ingin mengembangkan karier di perusahaannya. Ada pula mahasiswa yang memutuskan bekerja lepasan sebagai konsultan.

“Di India, konsultan itu 90 persen bergelar doktor. Di Indonesia sudah mulai masuk ke arah sana, walaupun masih ketinggalan lima tahunan, ya,” katanya.

Ford mengingatkan, transformasi digital merupakan suatu keniscayaan, terlebih kondisi pandemi Covid-19 yang memaksa semua berkas, dokumen, dan transaksi dialihkan secara digital.

“Ini sebuah momentum, kesempatan yang mungkin dulu orang belum pikirkan. Orang sistem informasi, terutama lulusan DCS Binus, (berperan) penting menghasilkan domain riset yang menelurkan blue print yang mungkin ditawarkan ke industri,” ujar Ford.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com