Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orangtua dan Guru, Ini Cara Kenali dan Atasi Gangguan Mental Siswa

Kompas.com - 10/10/2020, 09:15 WIB
Elisabeth Diandra Sandi,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Perubahan dan tekanan yang terjadi semasa pandemi Covid-19, membuat 64,3 persen masyarakat mengalami depresi dan kecemasan, termasuk remaja.

Angka tersebut merupakan hasil dari survei yang dilakukan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 2020.

Melengkapi survei PDSKJI, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) menemukan 50 persen gangguan kesehatan mental bermula sejak remaja, yakini 14 tahun.

Baca juga: Orangtua dan Guru, Pahami Deteksi Dini dan Penanganan ABK

Dalam laporan Riset Kesehatan Dasar yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, angka prevalensi gangguan mental emosional usia sekolah di atas 15 tahun juga mengalami peningkatan sebanyak 7 persen dari 2013 hingga 2020.

Mengambil konteks kondisi pandemi Covid-19, Jovita Maria Ferliana selaku psikolog anak, remaja, dan keluarga menjelaskan beberapa faktor yang memengaruhi gangguan kesehatan mental pada siswa.

Berikut ini merupakan efek pandemi Covid-19 yang menganggu kesehatan mental remaja saat Jovita membawakan web seminar bertajuk “Sehat Mental di Masa Pandemi”.

  1. Kehilangan beberapa momen besar di kehidupan mereka, contohnya melakukan wisuda tatap muka.
  2. Kehilangan momen keseharian seperti mengobrol dengan teman dan berpartisipasi di sekolahnya.
  3. Perasaan terisolasi karena berada di rumah secara terus menerus.
  4. Adanya perubahan gaya hidup semasa pandemi.
  5. Terikat larangan dan batasan.
  6. Perasaan marah, sedih, dan kecewa.
  7. Frustasi belajar online karena masalah sinyal, kuota, beban akademis, tidak mampu memahami materi, hingga putus sekolah.
  8. Kondisi keuangan keluarga.
  9. Anggota keluarga sakit dan meninggal.
  10. Memperburuk masalah yang sudah ada.

Jovita menegaskan bahwa masalah kesehatan fisik dan mental itu setara atau sama pentingnya.

“Sehingga kita enggak bisa cuman menjaga kesehatan fisik, tetapi kesehatan mental kita abaikan. Begitu pula sebaliknya karena itu saling memengaruhi dan juga punya tingkat kepentingan yang sama penting atau setara,” lanjut Jovita pada Jumat (2/10/2020) di akun YouTube REFO Indonesia.

Tanda dan cara atasi gangguan mental

Untuk itu, Jovita membagikan informasi kepada guru dan orangtua bagaimana cara mengenali tanda dan mengatasi gangguan mental pada murid atau remaja.

Berikut ini merupakan 11 tanda yang harus diperhatikan oleh guru dan orangtua supaya bisa mendeteksi gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja.

  1. Sering terlihat sangat sedih atau menarik diri dari lingkungan keluarga dan pertemanan.
  2. Mengalami ketakutan luar biasa yang tanpa alasan.
  3. Terlibat dalam perkelahian, menggunakan senjata, atau menyakiti orang lain.
  4. Menurunnya prestasi akademik secara drastis.
  5. Mengalami gangguan makan seperti tidak makan, memuntahkan makanan, atau menggunakan obat pencahar untuk menurunkan berat badan.
  6. Tidak memiliki minat untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
  7. Kesulitan berkonsentrasi.
  8. Penyalahgunaan zat (rokok, narkoba, dan alkohol) berulang kali.
  9. Perubahan suasana hati (mood) yang ekstrem.
  10. Perubahan drastic pada perilaku atau kepribadian.
  11. Berniat menyakiti diri sendiri atau mempunyai keinginan untuk bunuh diri.

Peran guru dan orangtua

Guru maupun orangtua harus mulai sadar dengan perilaku anaknya jika mereka sudah melakukannya secara rutin dalam periode waktu tertentu.

“Misalnya tidak mau makan. Jadi sesuatu yang seharusnya kita (guru maupun orangtua) rasa harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhkan biologisnya, itu tidak dilakukan selama 2 minggu. Kita harus langsung aware (sadar). Kalau menarik diri dan sudah dilakukan 2 sampai 3 bulan, itu kita harus udah mulai aware,” jelas Jovita.

Terlebih saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mendapati bahwa pelajar mengalami tambahan masalah dalam dunia pendidikan.

Dari hasil survei, pelajar mengalami masalah kuota, tugas yang banyak dengan waktu terbatas hingga kelelahan dan mata sakit karena terlalu lama menatap layar gawai. 

Baca juga: Begini Peran Orangtua Menangani Permasalahan Anak Usia Dini

7 langkah 

Oleh karena itu, setelah melihat 11 tanda tersebut dari anak, orangtua dan guru bisa melakukan 7 cara di bawah ini.

1. Validasi emosi anak.

Jovita mengingatkan orangtua dan guru agar jangan sampai mengabaikan atau menjatuhkan kondisi emosi anak.

Pasalnya bila emosi anak tidak tervalidasi, mereka akan semakin yakin bahwa tidak boleh menunjukan emosi seperti sedih, kecewa, dan merasa terpuruk.

Padahal emosi tidak bisa dihilangkan, tetapi perasaan itu berubah bentuk jika tidak tersalurkan.

“Saat dia kecewa, tetapi itu tidak terkatakan. Akhirnya ya itu, tidak hilang kan kecewanya, tapi berubah bentuk, misalnya jadi dendam,” ujar Jovita.

Maka dari itu, orangtua bisa mendatangi anak yang sedang murung atau menangis untuk mempertanyakan kembali apakah mereka sedih atau tidak.

“Begitu kita bilang, ‘kamu sedih?’ atau ‘kamu marah?’ atau ‘kamu kecewa?’, gapapa kok. Mama juga pernah seperti itu. Begitu kita menyatakan seperti itu, anak tuh merasa dirinya diterima banget sama orangtuanya, sama gurunya, sama siapapun. Dia akan merasa penerimaan diri itu karena kita memvalidasi emosinya,” jelas Jovita.

2. Dengarkan anak.

Jika anak sedang bercerita tentang sesuatu, maka orangtua dan guru harus mendengarkan tanpa memasukan label tertentu.

“Kita tidak perlu memasukan label-label tertentu, misalnya ‘ah kamu baper atau ah kan itu cinta monyet’. Jangan seperti itu karena kalau masa remaja, namanya dia jatuh cinta, ya itu beneran dia suka. Bukan artinya kita bilang, ‘ah cinta monyet itu, enggak benar cintanya pada saat usia segini’,” tutur Jovita.

Kalau orangtua maupun guru tetap melakukan hal seperti itu, anak pun merasa mengalami penolakan. Akhirnya, ia tidak bisa menerima dirinya sendiri.

3. Penerimaan dan cinta tanpa syarat.

Terkait hal ini, Jovita menghubungkannya dengan keunikan dan potensi diri anak. Guru dan orangtua harus memandang kekurangan anak dengan wajar dan menerimanya tanpa syarat.

“Jadi kita menerima dia tanpa syarat dengan cara kita tidak membandingkan dia dengan saudara-saudaranya atau kita tidak membandingkan dia dengan anak-anak orang lain, misalnya. Kita juga tidak membandingkan dengan diri kita sendiri,” tegasnya.

Dengan menerima dan cinta pada anak tanpa syarat, potensi anak akan lebih telihat dan kekurangannya semakin bisa teratasi.

4. Komunikasi.

Jovita mendapati banyak orangtua yang bingung bagaimana memulai cerita dengan anaknya.

Ia pun mengingatkan bahwa komunikasi itu bisa dilakukan secara verbal dan nonverbal.

“Jadi tidak melulu kita harus mencari kata-kata biar bisa ngobrol sama remaja kita, tidak seperti itu. Bisa aja kita mulai dengan tebak-tebakan, permainan atau cuman sekadar peluk aja dia. Atau saat melewati dia kita elus-elus pundaknya, itu nonverbal kan, itu termasuk komunikasi juga gitu ya,” ucapnya.

Baca juga: Ini 4 Kebijakan Kesehatan Mental Selama Pandemi Hasil Rekomendasi UI

Dengan membangun komunikasi bersama anak, mereka pun bisa percaya untuk cerita kepada orangtua maupun guru. Meski tidak bisa memberikan solusi, tetapi mereka mendapati hatinya terasa sejuk.

5. Berikan perhatian.

Melansir laporan dalam pemberitaan bbc.com, remaja masih membutuhkan perawatan khusus untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional mereka.

Maka dari itu, orangtua dan guru yang memberikan perhatian kepada anaknya bisa membantu remaja untuk membangun kepercayaan serta harga dirinya.

6. Berikan anak skill mengelola diri.

Salah satu alternatif yang orangtua dan guru bisa ajarkan ke anak untuk mampu mengelola diri ialah metode pelukan kupu-kupu atau butterfly hug.

“Kita bisa ajarkan butterfly hug sampai perasaan atau emosi tersebut bisa dia terima. Kemudian baru kita cari solusinya kalau memang dia memerlukan solusi,” ujar Jovita.

Butterfly hug merupakan metode terapeutik untuk membantu seseorang merasa santai dan tenang. Untuk mengenal dan melatih metode ini, Anda bisa klik ini.

7. Berikan pengalaman dan kesadaran cinta diri.

Terakhir, orangtua dan guru bisa berusaha untuk menanamkan pada diri remaja bahwa mereka itu berharga.

“Jadi kita bisa ajarkan anak-anak bersyukur setiap hari dengan cara doa, agamanya apapun, berdoa gitu. Entah itu berdoa bersama atau sendiri-sendiri dan minta pada anak setiap kali doa, ucapkan rasa syukur,” tutur Jovita.

Dengan cinta kepada diri sendiri, Jovita mengatakan bahwa seseorang tidak akan melukai diri sendiri ketika ada masalah yang datang. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com