Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Niknik M. Kuntarto
Dosen UMN. Ahli linguistik forensik.

Dr. Niknik M. Kuntarto, M.Hum, selain Dosen UMN, juga aktif sebagai ahli linguistik forensik dan pegiat bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) di bawah Yayasan Kampung Bahasa Bloombank Indonesia.

Penapis Ejaan Otomatis: Saatnya Teknologi Berbahasa (1)

Kompas.com - 28/10/2020, 05:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Apa yang salah dengan kata “mengakomodir” dan “merubah” pada kalimat berikut? “Soal upah juga masih mengakomodir UMK.” “Untuk itu, diperkenankan adanya pemangkasan regulasi jika UU Cipta Kerja yang merubah atau merevisi beberapa hambatan.”

Apa yang salah dari kata ‘praktek’ dan ‘resiko’ pada kalimat ini? “UU Cipta Kerja dianggap memiliki resiko bertentangan dengan standar praktek internasional dalam kegiatan berbisnis.”

Mengapa jurnalis ini kurang bisa menerapkan penggunaan kata depan <di> dan <ke> seperti pada kalimat berikut? “RUU Cipta Kerja sebagai terobosan hukum untuk bangsa dan seluruh rakyat Indonesia, yang nantinya dapat memudahkan disemua sektor dan bidang untuk melakukan pekerjaan.”

”Biaya ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat kerja ditentukan dalam peraturan kerja bersama.”

Mengapa jurnalis ini menulis kata penghubung ‘sehingga’ sebagai intrakalimat seperti kata penghubung antarkalimat pada kalimat berikut? “Sayangnya, Krisdayanti membatasi komentar dalam postingannya tersebut. Sehingga tak banyak netizen bisa menuliskan komentar.”

Baca juga: Nilai-Nilai Penting Sumpah Pemuda

Namun, justru pada kalimat berikutnya, jurnalis ini menggunakan kata penghubung ‘namun’ sebagai antarkalimat seperti intrakalimat. “RUU Ciptaker juga dinilai lebih memihak korporasi, namun DPR dan Pemerintah terus melanjutkan pembahasan.”

Mengapa pula jurnalis ini melakukan kesalahan tik dalam kalimat berikut? “Dalam menearapkan UU Cipta Kerja, dibuthkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penegakan aturan yang benar.”

Runtutan pertanyaan setiap kesalahan berbahasa Indonesia di kalangan jurnalis ini mengusung tanya, mengapa selalu terjadi kesalahan bahasa pada beberapa berita dan artikel di media daring.

Padahal, media turut memegang peranan penting dalam mengedukasi masyarakat Indonesia agar lebih peduli terhadap kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Padahal, kemampuan berbahasa Indonesia seorang jurnalis akan berpengaruh pada budaya komunikasi masyarakat Indonesia.

Di lingkungan jurnalis, kebutuhan terhadap kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sangat dituntut karena sebagian besar proses interaksi dan komunikasi terjadi melalui bahasa mulai dari peliputan, wawancara narasumber, hingga pelaporan.

Namun, ironisnya beberapa kesalahan bahasa secara berulang ditemukan pada beberapa media daring. Ini menunjukkan bahwa sebagian jurnalis yang terlibat dalam industri media massa kurang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai.

Menjaga dan merawat bahasa Indonesia

Sebenarnya masyarakat menyadari bahwa ada standar baku dalam bahasa Indonesia. Namun, karena faktor kebiasaan, kata-kata tidak baku pun terkadang dianggap tidak ada masalah.

Sangat sedikit orang yang peduli pada kesalahan itu dan terdapat keengganan untuk menegur dan memperbaiki karena khawatir dianggap kaku dengan kebakuan bahasa.

Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan terhadap mahasiswa jurusan jurnalistik tentang alasan kesalahan berulang pada karya jurnalistik yang telah mereka buat dalam tugas kesehariannya sebagai calon jurnalistik.

Alasan pertama adalah karena kebiasaan. Mereka mengaku bahwa dalam berbahasa tulis seringkali kesalahan berulang ini karena kebiasaan yang sudah dilakukan sejak duduk di bangku sekolah, baik dasar, menengah pertama, maupun menengah atas.

Mereka juga merasa ada pembiaran, jarang mendapatkan teguran dari guru atau dosen. Pun jika ada, teguran itu berasal dari mata pelajaran atau mata kuliah yang berhubungan dengan bahasa Indonesia.

Selain itu, mereka juga menyadari bahwa lebih mudah mencontoh bahasa yang ada di media daring (yang belum tentu semua media menerapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar) dibanding harus membuka pedoman umum ejaan bahasa Indonesia (PUEBI) atau kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).

Baca juga: Memaknai Sumpah Pemuda dari Spirit Kewirausahaan

Hal ini berhubungan dengan jawaban kedua yang menyatakan bahwa kesalahan bahasa yang berulang ini karena ketidakpedulian.

Mereka malas membuka kaidah PUEBI atau KBBI yang diangap hanya buang waktu. Sungguh memprihatinkan!

Mereka lupa dengan janji menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang telah termaktub dalam Sumpah Pemuda. Mereka kurang ingat Sumpah Pemuda itu milik siapa.

Mereka luput Sumpah Pemuda itu dicetuskan oleh siapa. Mereka tak menyadari pengguna bahasa Indonesia yang paling banyak itu siapa? Mereka lupa bahwa semua jawaban ada di tangan mereka: pemuda-pemudi Indonesia.

Mereka kurang acuh pada tanggung jawab sebagai dengan selalu menerapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah inovasi kecerdasan buatan yang mampu menjadi pendamping pemuda-pemudi Indonesia, khususnya mahasiswa jurnalistik sebagai generasi muda yang akan mengunakan bahasa di media sebagai sarana pencerdas bangsa untuk selalu mampu melestarikan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Seri pertama dari dua tulisan dengan judul yang sama "Penapis Ejaan Otomatis: Saatnya Teknologi Berbahasa (2)"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com