BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Puspeka Kemendikbud

Punya Peran Strategis, Bagaimana Ibu Bisa Membangun Karakter pada Anak di Rumah?

Kompas.com - 30/11/2020, 08:26 WIB
Sri Noviyanti,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Artis peran sekaligus influencer Zee Zee Shahab berbagi pengalaman saat menemani anaknya belajar dari rumah (BDR).

Anak pertamanya saat ini berada di kelas 1 sekolah dasar (SD). Selain harus menemaninya beradaptasi dengan sekolah formal, ia juga harus berhadapan dengan sistem BDR akibat pandemi Covid-19.

“Belajar dari rumah harus pintar-pintarnya orangtua menemani dan menjelaskan, pelajaran yang ini bagaimana cara praktiknya,” ujar Zee Zee dalam bincang-bincang K-Talk yang disiarkan langsung di Instagram Kompas.com, Kamis (26/11/2020).

Orangtua yang menemani anaknya BDR saat ini, kata Zee Zee, seperti punya peran sebagai guru. Sebab, urusan pendidikan formal anak yang biasanya menjadi tanggung jawab sekolah, saat ini harus pindah ke tangan orangtua.

“Kalau dulu, anak punya nilai jelek, mungkin kami (orangtua) bisa bertanya pada guru ‘kenapa? kok bisa’,” tambahnya.

Saat ini, kata dia, seluruh proses itu bisa dilihat sendiri oleh orangtua saat BDR. Jadi, hasil yang diperlihatkan anak-anak tergantung pada pendidikan yang diberikan orangtua.

“Sekarang benar-benar tanggung jawabnya 1.000 persen. Sepenuhnya. Orangtua harus all out, bagaimana caranya anak bisa senang belajar, tetap bisa happy main di rumah, dan mengerti keadaan (pandemi) sekarang ini,” tambahnya.

Mengangkat tema “Membangun Karakter, Tantangan Ibu Saat Siswa Belajar dari Rumah”, K-Talks kali ini bekerja sama dengan Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Orangtua, utamanya ibu yang memiliki peran strategis sebagai sentral dalam keluarga, diangkat sebagai tema karena dianggap sebagai sosok penting untuk membangun karakter anak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Selain Zee Zee, hadir pula Analis Pendidikan Puspeka Kemendikbud, Sri Lestari Yuniarti.
Dalam penjelasannya, Yuni mengamini kalau peran ibu memang penting sebagai contoh bagi anak untuk membangun karakternya.

“Ingat selalu falsafah Ki Hajar Dewantara. Keluarga itu adalah lingkungan belajar pertama, dan ibu adalah tokoh sentral yang ada di dalamnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pendidikan akan efektif kalau saja pengajaran yang dilakukan tak hanya ada di sekolah, tapi di seluruh lingkungan masyarakat, utamanya keluarga.

“Harus kompak, senada, seirama, dan jalan beriringan. (Pendidikan) bukan hanya tugas sekolah,” ujarnya.

Membangun karakter Pancasila

Menyinggung peran ibu untuk membangun karakter anak, Zee Zee punya cara sendiri sebagai orangtua. Ia kerap mencari tahu dulu apa yang sedang disukai anak suka.

“Kalau anak lagi suka bermain game tertentu, ya aku ikut install dan cari tahu game-nya. Aku coba mainkan. Begitu paham dengan permainannya, itu jadi modal aku untuk berkomunikasi dengan anak. Jadi kami nyambung karena aku memosisikan diri jadi temannya,” sambungnya.

Tak jarang pula, kata dia, Youtube dijadikan sarana untuk anaknya belajar.

“Membangun karakter bisa lewat tayangan di Youtube. Aku cari tontonan mengenai pahlawan-pahlawan Indonesia (agar dia terbangun rasa nasionalismenya) atau memperlihatkan budaya Indonesia lewat tayangan mengenai museum,” tambahnya.

Cara seperti itu, menurut Zee Zee, lebih fun dan masuk untuk anaknya. Lewat Youtube, pembelajaran jadi terasa lebih menyenangkan.

Saat ini Youtube memang jadi media hiburan bagi anak. Saat pembelajaran dilakukan lewat platform yang sama, mereka menjadi terkesan.

“Lewat Youtube belajarnya jadi smooth kan. Anakku malah bilang seru ya ke museum. Kalau pandemi over, ajak aku ke sana Mommy,” ujar Zee Zee menirukan anaknya.

Anak-anak sekarang, kata Zee Zee, berbeda dengan anak zaman dahulu. Mereka sudah bisa berpikir kritis sejak kecil. Sebab, mereka tumbuh di era yang perkembangan teknologinya sangat pesat.

“Nih kalau dilarang sedikit saja, anak bisa cari sebabnya di Google. Mereka akan bertanya terus, kenapa kenapa kenapa. Makanya kami (orangtuanya) tidak boleh kalah. Saat mendidik, dia juga harus pakai alasan yang logis. Cara paling gampang ya lewat hal-hal yang dia suka,” tambahnya.

Yuni menambahkan, pembelajaran bagi anak memang bisa didapatkan dari mana saja.

“Kalau boleh mengutip seorang teman, media sosial itu tidak punya kata sifat seperti manusia. Jadi, baik buruknya ya tergantung bagaimana manusia sebagai pengguna memanfaatkannya,” sambungnya.

Menurutnya, orangtua masa kini lebih beruntung. Sebab, sudah banyak studi literatur yang bisa dijadikan bahan dasar pembelajaran mengenai ilmu parenting dan pola didik anak.

Meski demikian, bukan berarti pola asuh orangtua zaman dahulu salah. Ia menuturkan bahwa ada banyak nilai-nilai yang bisa dipetik dari pola asuh orangtua dahulu.

“Orangtua zaman dahulu mengajarkan kita (manusia) untuk tahu manner lewat kearifan lokal. Ini masih bisa kita jadikan contoh dan diturunkan pada anak-anak,” ujarnya.

Satu contoh penguatan karakter yang berasal dari kearifan lokal adalah budaya makan bersama. Waktu makan bersama adalah saat yang tepat bagi tiap anggota keluarga untuk memahami satu sama lain.

Saat makan, kata dia, bisa dijadikan sebagai waktu untuk berdiskusi. Inilah kesempatan yang baik untuk memupuk dan menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai penguat karakter.

Yuni yang sudah memiliki anak di usia remaja kerap mengajak anak-anaknya berdiskusi.

“Usia SMP dan SMA kan sudah bisa diajak diskusi, evaluasi dan refleksi. Jadi, kesempatan makan bersama bisa jadi waktu berdiskusi mengenai isu yang sedang hangat. Misalnya, lempar satu isu mengenai demonstrasi. Tanya anak, apa yang mereka tahu mengenai demo, ajarkan mengapa ada demo,” tuturnya.

Korek informasi sejauh apa anak-anak memahami isu tersebut. Jelaskan baik buruknya isu yang sedang dibahas.

“(Jelaskan bahwa) aktivitas ini baik kalau bagaimana (dan menjadi buruk kalau hanya ikut-ikutan),” jelasnya.

Jika anak memiliki pemahaman yang salah, orangtua juga wajib meluruskan. Terlebih, derasnya informasi dan ancaman hoaks juga membayangi mereka.

“Kalau bicara soal nasionalisme pada mereka, tanamkan kalau rasa cinta tanah air tak melulu menyanjung negara. Mereka boleh mengkritik, mencari tahu masalah apa yang sedang dihadapi negeri ini dan kontribusi apa yang mereka bisa berikan (sebagai jalan keluar),” jelasnya.

Diskusi seperti itu, kata Yuni, bisa juga memancing daya pikir anak agar memiliki nalar kritis.

“Kalau obrolan usai makan jadi diskusi seperti itu, akhirnya obrolan jadi bernas,” katanya.

Cara-cara seperti itu, kata Yuni, sebenarnya bisa jadi trik sederhana yang bisa dipakai orangtua untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sehingga karakter anak terbentuk.


komentar di artikel lainnya
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com