KOMPAS.com - Salah satu persoalan budaya baca dan literasi Indonesia terletak pada sisi hulu literasi sehingga sektor ini memerlukan intervensi penguatan peran melalui kolaborasi seluruh pemangku kepentingan.
Lemahnya sisi hilir literasi membawa dampak kurangnya bahan bacaan hingga pendistribusian buku yang belum tepat sasaran. Akibatnya pertumbuhan literasi mengalami perlambatan.
"Jadi, tidak afdol jika stigma rendah budaya baca masyarakat Indonesia terus diwartakan, terutama oleh lembaga riset atau media asing, sementara di sisi lain infrastruktur untuk mengakses pengetahuan belum memadai dan kurang mendapat perhatian," ujar Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando melalui rilis resmi (17/6/2021).
Hal ini disampaikan Kaperpusnas pada peluncuran Akademi Literasi di Jakarta, pada Rabu, 16 Juni 2021.
"Padahal, faktor tersebut juga bisa dianggap pemicu disparitas ketersediaan bahan bacaan masyarakat dan akses pengetahuan yang semakin melebar," tambah Syarif Bando.
"Oleh karena itu, maka tugas kita saat ini adalah memastikan sisi hulu berperan optimal dan berfungsi baik sekaligus memastikan kebutuhan bahan bacaan 270 juta penduduk terpenuhi," tegasnya.
Perpusnas, tambah Syarif Bando, akan mendukung kehadiran ruang digital Akademi Literasi sebagai wadah kolaborasi dan elaborasi para pegiat literasi.
Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca Perpusnas Adin Bondar mengatakan, Akademi Literasi adalah gagasan baru yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
"Literasi menjadi sangat penting dalam segala aspek apapun. Dalam konteks yang lebih luas, literasi mengerucut pada perbendaharaan gagasan yang membantu seseorang untuk berpikir dan bertindak atas dasar konsep yang matang. Literasi adalah hal yang esensi," kata Adin.
Mengelola literasi sama dengan mengelola manusia karena esensinya berdampak pada pembangunan manusia yang berkelanjutan. Hal ini yang disampaikan Widyaiswara Lembaga Administrasi Negara (LAN) Suseno.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.