Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pukat UGM: Pemecatan 57 Pegawai Bisa Berdampak pada Kinerja KPK

Kompas.com - 30/09/2021, 11:20 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Sebanyak 57 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat ujian alih status pegawai menjadi ASN beberapa waktu lalu akan diberhentikan pada akhir September ini.

Menanggapi hal ini, Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM, Yuris Rezha Kurniawan mengatakan kecilnya peluang pegawai KPK yang tidak lolos TWK untuk kembali ke KPK merupakan bagian dari dampak revisi UU KPK yang mengharuskan adanya alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Namun demikian, kata dia, dipecatnya 57 pegawai KPK yang sudah diketahui rekam jejaknya tersebut akan berimplikasi pada kinerja KPK di masa mendatang.

Baca juga: 5 Negara Paling Santai di Dunia, Indonesia Peringkat Pertama

“Kita tidak akan bisa melihat kiprah KPK sehebat dulu. Karena kondisi yang menimpa KPK hari ini adalah dampak dan implikasi dari dua hal yang sejak awal sudah banyak dikritisi oleh publik,” kata Yuris, dirangkum dari laman UGM.

2 persoalan yang menimpa KPK

Yuris lantas menyebutkan dua persoalan yang menimpa KPK sejak awal hingga pemecatan 57 pegawai ini.

Pertama, jelas dia, proses pemilihan pimpinan KPK yang secara rekam jejak cenderung bermasalah.

Lalu kedua, ialah revisi UU KPK yang mendegradasi independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.

“Ke depan, dengan atau tanpa 57 pegawai yang akan dipecat, masih sulit membayangkan KPK bisa segarang dulu dalam memberantas korupsi,” tegasnya.

Yuris meyakini bahwa yang bermasalah sebetulnya bukan 57 pegawai KPK tersebut. Namun, memang ada upaya pihak tertentu untuk menyingkirkan 57 pegawai dari lembaga KPK.

Baca juga: BUMD PAM Jaya Buka Lowongan Kerja Lulusan S1, Cek Posisi dan Syarat

“Seolah poin utama dari proses alih status pegawai KPK ini adalah mencari segala cara agar 57 pegawai tersebut tidak lagi bekerja di KPK,” terangnya.

Ombudsman dan Komnas HAM sendiri sudah menyebut bahwa proses TWK diduga penuh maladministrasi dan pelanggaran HAM.

Menurutnya, Presiden bisa mengambil keputusan dan sangat wajar jika publik berharap Presiden untuk memperbaiki kondisi ini karena ia sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang melaksanakan perintah undang-undang sekaligus pimpinan tertinggi ASN.

“Justru saat Presiden tidak bersikap, publik dapat mempertanyakan peran Presiden dalam dua kewenangannya tersebut,” paparnya.

Sementara itu, terkait persoalan internal KPK di mana pejabat KPK terlibat dalam kasus korupsi dan melakukan pelanggaran etik berat, Yuris mengatakan KPK sekarang ini harus introspeksi diri, khususnya bagi pimpinan dan Dewan Pengawas.

Baca juga: BUMN Bank Mandiri Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan SMA, D3, S1-S2

“Dua pimpinan telah terbukti melanggar etik bahkan salah satunya adalah pelanggaran etik berat yang kuat mengarah pada tindakan pidana. Mana mungkin KPK bisa menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang efektif kalau di tingkat pimpinan saja tidak "zero tolerance" terhadap praktik koruptif,” jelasnya.

Ia juga menyoroti kinerja Dewan Pengawas (Dewas) yang seharusnya bisa diharapkan dapat menjadi pengawas internal yang efektif sebagaimana desain Revisi UU KPK justru seperti "macan ompong".

“Dewas tidak berani mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran di internal KPK. Dibandingkan Dewas hari ini, justru sistem pengawasan internal KPK sebelum adanya Revisi UU KPK jauh lebih baik karena lebih tegas menghukum pihak internal KPK yang melakukan pelanggaran,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com