KOMPAS.com - Penamaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Padahal, pemilihan kata Nusantara itu sudah melalui kajian mendalam.
Menurut Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Arif Akhyat, M.A., kata Nusantara sudah dikenal sejak lama di era masa kerajaan Singosari dan Majapahit.
Selain itu, kata Nusantara bukan hanya muncul pada masa Majapahit, tapi sejak masa kerajaan Singasari sudah digunakan untuk merujuk wilayah pulau luar.
Baca juga: UGM Jadi Kampus Terpopuler di Indonesia Versi 4ICU 2021
"Nusantara dibedakan dengan dvipantara yakni dvipa yang artinya Jawa," ujarnya seperti dikutip dari laman UGM, Kamis (20/1/2022).
Dijelaskan, konsep Nusantara pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura dan Tanjungpura.
Keempat wilayah itu juga termasuk wilayah Singapura, Malaysia. Juga wilayah Sumatera, Borneo, Sulawesi dan Maluku, Lombok, Timor. Bahkan, pengaruhnya sampai Champa, Cambodia, Annam dan Siam.
"Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, Nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa," jelas Arif Akhyat.
Arif yang juga dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini juga menjekaskan bahwa kata Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Ia hanya sebuah nama untuk menyebut wilayah di luar Jawa.
Baca juga: Pakar UGM: Ini Pentingnya Vaksin Booster
"Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan," terangnya.
Inti pemindahan IKN itu bukan soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner.
"Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar," imbuhnya.
Dulunya, Presiden Soekarno pernah bercita-cita memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan. Menurutnya, Soekarno ingin memindahkan IKN saat itu, pasti ada motif yang berbeda dengan sekarang.
Sepanjang pengetahuannya, berbagai motif dan alasan melatarbelakangi perpindahan IKN. Sebagai contoh, IKN pernah pindah ke Yogyakarta 1946, dikarenakan kondisi Jakarta secara politik tidak aman, revolutif, dan di bawah ancaman agresi militer Belanda.
Kalau gagasan IKN mau dipindahkan Soekarno tahun 1957 ke Palangkaraya, itu pun sangat mungkin karena salah satunya adanya intrik politik militer 1957 dengan gerakan separatisme dari berbagai daerah, sehingga IKN (Jakarta) tidak aman.
Jadi persoalan perpindahan IKN ini bukan sekedar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan.
"Lebih jauh lagi, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan IKN jangan sampai ahistoris dan bersifat politis," jelasnya.
Terkait IKN, Arif punya pandangan sendiri. Menurutnya nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya.
Baca juga: RSA UGM: Begini Metode Pengobatan Varises
Sebab, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya.
"Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.