Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen Unair: Keluarga Tempati Urutan Atas Pelaku Kekerasan Anak

Kompas.com - 28/03/2022, 14:20 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kekerasan anak masih menjadi momok menakutkan bagi banyak anak-anak di Indonesia.

Mengutip data dari KPAI tahun 2011–2021, jumlah kasus pengaduan perlindungan anak meningkat setiap tahunnya.

Kekerasan itu tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam bentuk psikis, seperti membentak ataupun mengabaikan anak.

Banyak pula kasus kekerasan anak di media massa yang korbannya merupakan anak-anak di bawah 5 tahun.

Baca juga: Orangtua, Ini 6 Cara Edukasi Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak

Melihat banyaknya kasus kekerasan anak, Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Zendy Wula Ayu Widhi Prameswari angkat suara.

Dia menyebut, pemenuhan hak anak di Indonesia masih dinilai kurang olehnya.

"Keluarga dan pengasuhan alternatif memiliki jumlah kasus yang tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011," ungkap Zendy dilansir dari laman Unair, Senin (28/3/2022).

Bahkan, menurut dia, persentase tertinggi pelaku kekerasan anak ada di keluarga dan kerabat.

Padahal, kata dia, dampak kekerasan anak bisa dirasakan saat usia dewasa.

Pada akhirnya berpengaruh besar pada mental mereka masing-masing.

"Kekerasan dapat membekas ke batin sang anak yang akan mempengaruhi perkembangannya," ujarnya.

Baca juga: Pakar Psikologi Unair: Begini Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual

Beberapa penyebab terjadinya kekerasan anak, sebut dia, dipengaruhi teknologi dan informasi, permitivitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan anak, kemiskinan dan pengangguran, serta kondisi tempat tinggal yang tidak ramah pada anak.

Indonesia masih kurang melindungi kasus kekerasan anak

Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu juga memaparkan, realita di Indonesia mengenai kurangnya perlindungan kasus kekerasan anak menyebabkan masalah itu sering timbul.

Salah satunya adalah budaya double victimization yang sering terjadi di Indonesia.

Double victimization adalah saat korban melapor kepada pihak berwenang, tapi ditanggapi dengan sanggahan, seperti 'pantas saja dihukum, anaknya nakal toh'.

Menurut Zendy, budaya itu menyebabkan banyak anak tidak mau melaporkan kasus kekerasan yang terjadi padanya.

Hal lainnya, Zendy menyebut, kebiasaan pola pikir masyarakat Indonesia yang menilai anak nakal harus dihukum.

Padahal, anak-anak harus mendapat perlindungan, tidak lebih sedikit dari perlindungan yang didapatkan oleh orang dewasa.

Kemudian, belum adanya tindakan tegas dari negara terhadap kasus kekerasan anak.

"Mengenai status produk hukum ratifikasi CRC, kalau Anda masih ingat tadi statusnya adalah keputusan presiden di tahun yang sudah lama sekali. Padahal dalam perkembangannya, produk hukum yg berkaitan dengan ratifikasi instrumen HAM itu seharusnya dalam bentuk undang-undang (UU)," jelasnya.

Langkah yang dapat dilakukan di Indonesia, tambah dia, yakni mencegah kekerasan anak dengan memberi edukasi kepada para orangtua.

Berdasarkan data internasional Turki, tindakan itu terbukti efektif berhasil menurunkan tingkat kekerasan pada anak hingga 73 persen dalam jangka waktu dua tahun.

Dalam hal ini, pemerintah juga memiliki kewajiban terhadap perlindungan hak anak di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com