KOMPAS.com - Meski sudah berusia 60 tahun dan sudah pensiun, Iwan Ardhie Apriyana tetap mendapatkan penghargaan atas dedikasinya sebagai seorang guru yang memperjuangkan prinsip pembelajaran berpihak pada murid.
Apresiasi tersebut diberikan oleh Yayasan Guru Belajar (YGB) saat Puncak Temu Pendidik Nusantara 9 (TPN 9) pada Minggu (9/10/2022) di SMA Diponegoro 1 Jakarta Timur.
Iwan mendapatkan penghargaan Rohana Kudus Awards 2022 karena mampu menerapkan disiplin tanpa kekerasan atau disiplin positif.
Cerita itu merupakan praktik baik yang pernah dia lakukan saat mengajar di SMP Negeri 1 Nagreg, Kabupaten Bandung.
Baca juga: Kisah Guru Asal Sumut, Menulis Banyak Buku hingga Jadi Idola Murid
Mengajak murid untuk disiplin merupakan salah satu tantangan bagi pendidik. Begitu pula yang dihadapi oleh Iwan saat masih menjadi guru SMP Negeri 1 Nagreg, Kabupaten Bandung.
Tiap tahun ajaran baru di sekolahnya, murid mendapat berlembar-lembar peraturan. Lembar peraturan tersebut harus ditandatangani oleh orangtua.
Meski begitu, Iwan merasa hal tersebut belum efektif. Masih banyak muridnya yang melanggar aturan.
"Tapi memberi hukuman terlebih hukuman fisik bukan solusi. Terlalu sering menghukum untuk mengajarkan, bukan membuat yang kita ajar menjadi mengerti, tapi itu malah akan menumbuhkan kebencian," kata Iwan.
Setelah berdiskusi dengan rekan guru, Iwan menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh murid adalah dilibatkan dalam membuat peraturan tersebut. Ini yang disebut dengan disiplin positif.
Iwan kemudian mengajak murid untuk membuat kontrak belajar. Kontrak ini berisi sepuluh komitmen yang dibuat sendiri oleh murid.
Baca juga: Tanpa Hafalan, Ini Cara Guru Asal Jambi Buat Murid Paham Pelajaran
"Kenapa sepuluh? Terlalu banyak komitmen akan menyulitkan murid sendiri karena ia akan merasa dipenjara oleh aturannya sendiri. Terlalu sedikit juga mungkin akan memberikan kemudahan bagi murid sebab ia akan memilih perilaku yang sangat umum," jelas penulis dan editor
Iwan menerangkan, yang terpenting kontrak belajar sudah mencakup perilaku kebiasaan murid yang perlu dikendalikan.
Tidak hanya komitmen, murid juga akan menyusun sendiri konsekuensinya jika terjadi pelanggaran. Iwan sebagai guru hanya memberi rambu-rambu.
"Konsekuensi bukanlah hukuman, tidak boleh dalam bentuk fisik, seperti push up atau berlari di lapangan. Konsekuensi diupayakan berkaitan langsung dengan pelanggaran dan menjadi solusi, misalnya jika datang terlambat, maka perlu mengganti ketertinggalan pembelajaran dengan tambahan belajar. Mengotori kelas, maka konsekuensinya membersihkan kelas," terang Iwan.
Tidak hanya murid, Iwan juga membuat poin-poin komitmennya.
Dia sebut sebagai "kontrak mengajar" yang juga didiskusikan dengan murid.
Baca juga: Intip Pembelajaran Aktif di Jambi, Siswa: Senang Belajar karena Asyik
Iwan mengungkapkan, setelah beberapa minggu diterapkan, kondisi kelas lebih kondusif. Meskipun tidak bisa langsung berubah total.
Tidak ada lagi murid yang dihukum. Melainkan murid yang menjalani konsekuensi atas kelalaian diri sendiri. Mereka pun terlihat ikhlas dan gembira menjalaninya.
"Tujuan dari kontrak belajar itu adalah mereka memberi kenyamanan selama belajar dan yang lebih dari itu adalah membentuk tanggung jawab sebagai bagian dari pembentukan karakter," pungkas Iwan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.