Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UI: Mudik Jadi Momentum "Healing" Masyarakat Indonesia

Kompas.com - 18/04/2023, 14:18 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), Dr. Ngatawi Al Zastrouw mengatakan bahwa masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota tidak dapat melepas budaya desa yang guyub.

Mereka rindu kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan dan rindu sanak keluarga.

Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Hari Raya, seperti Idul Fitri. Urbanisasi besar-besaran inilah yang menjadi pemicu lahirnya budaya mudik dengan adanya dimensi efektif atau rasa.

Baca juga: Liburan di Jogja? Kunjungi Muspusdirla, Tempat Belajar dan Mengenal Dunia Dirgantara

Momentum katarsis berbagai problem psikologis

Tidak hanya di Indonesia, mudik menjadi tradisi yang lazim dilakukan oleh sebagian masyarakat dunia.

Di Korea Selatan misalnya, tradisi mudik dilakukan saat perayaan Chuseok yang merupakan festival musim panas Hangawi di tengah musim gugur.

Di Negeri Paman Sam, mudik terjadi saat perayaan thanksgiving yang setiap tahunnya dirayakan pada Kamis minggu keempat bulan November.

Sementara itu, di China, setiap Tahun Baru Imlek, warga akan mudik ke berbagai daerah yang dikenal dengan istilah Chunyun.

Di Indonesia sendiri tradisi mudik dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri. Tradisi mudik ini bahkan telah dikenal sejak zaman Majapahit, di mana masyarakat pendatang di suatu daerah kembali ke kampung halamannya saat perayaan tertentu.

Saat ini, tradisi mudik ini diteruskan oleh para pendatang yang tinggal di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halamannya dalam rangka silaturahmi dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga.

Baca juga: Dosen UM Sebut Ada 5 Penyakit yang Muncul Saat Mudik

Dr. Zastrouw mengatakan bahwa peristiwa mudik ini tidak saja terkait dengan masalah komunikasi yang dapat digantikan dengan teknologi.

Namun, ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi mudik.

“Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekalipun,” kata Dr. Zastrouw dalam keterangan resmi UI.

Tradisi mudik dapat bertahan karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat.

Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di perkotaan, mulai dari kemacetan, polusi, serta kesenjangan yang terasa, menjadikan mudik sebagai pilihan terapi psikologis.

Menurut Dr. Zastrouw, dibutuhkan momentum untuk kanalisasi emosi sekaligus katarsis atas kejenuhan yang dirasakan.

Baca juga: Dosen UM Surabaya: 6 Tanda Kolesterol Tinggi Bisa Dilihat dari Kaki

Tradisi ini menjadi momentum katarsis atas berbagai problem psikologis yang dirasakan oleh masyarakat modern urban.

Selain aspek budaya dan agama, mudik merupakan sebuah aktivitas traveling. Mudik menjadi sarana traveling massal yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Seluruh moda transportasi digunakan, seperti mobil pribadi, pesawat terbang, kereta api, kapal laut, bus bahkan motor.

“Dengan kata lain, tradisi mudik menjadi momentum healing masyarakat modern. Inilah yang membuat tradisi ini tidak luntur digerus arus modernisasi, karena dapat menjadi kanalisasi atas residu budaya modernisasi,” ujar Zastrow.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau