Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran dari Maybrat

Kompas.com - 11/10/2012, 08:44 WIB

Oleh Sri Palupi

Sejak pendidikan menjadi komoditas perdagangan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari sosial menjadi komersial, pendidikan—apalagi yang bermutu—semakin jauh dari kelompok miskin.

Kian mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin sering harus menyerah betapapun berprestasinya anak-anak mereka. Bahkan sekadar bermimpi menyekolahkan anak sampai setingkat SMA saja, mereka tak berani lagi.

Ada anak lulusan SMP yang berprestasi—bahkan pernah mengikuti olimpiade sains di daerahnya—terpaksa menjadi TKI. Ada lagi anak yang nekat mengikuti tes dan diterima di perguruan tinggi negeri, akhirnya mengundurkan diri. Alasannya sama, tak ada lagi biaya.

Di negeri ini ternyata tengah berlangsung proses pemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpi. Tidak heran kalau dulu banyak mobilisasi vertikal lewat pendidikan. Sekarang, biaya jadi kendala utama.

Fenomena tidak biasa terkait kemiskinan dan akses atas pendidikan kami temukan di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Maybrat. Di kalangan masyarakat Papua, Maybrat dikenal sebagai daerah yang warganya banyak menjadi sarjana. Bahkan tidak sedikit pejabat tinggi di kabupaten lain di Papua berasal dari Maybrat.

Padahal, kondisi warga Maybrat sama miskinnya dengan warga di kabupaten lain. Namun, masyarakat Maybrat bersemangat tinggi untuk memperoleh pendidikan. Apa yang membedakan Maybrat dengan masyarakat lain di Papua?

Pertanyaan ini muncul ketika mendata keluarga miskin di kampung-kampung. Ternyata banyak yang anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Tidak sedikit anak dari keluarga miskin di daerah ini mampu menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan, banyak pula yang menempuh pendidikan tinggi di Jawa.

Jawaban kami temukan dalam diskusi bersama komunitas-komunitas kampung di Kabupaten Maybrat. Meski berbeda kadarnya, ada semacam spirit gotong royong yang berlaku umum dan dipelihara oleh masyarakat kampung di Maybrat. Spirit ini dalam bahasa setempat disebut anu beta tubat, yang artinya bersama kami mengangkat.

Spirit yang menyatukan

Spirit anu beta tubat menyatukan masyarakat Maybrat untuk memprioritaskan pendidikan. Ibarat lidi yang bila disatukan sulit dipatahkan, demikian pula kekuatan spirit anu beta tubat bagi keluarga-keluarga miskin di Maybrat. Betapa pun miskinnya, mereka tidak menyerah dalam memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka. Berbagai hambatan diatasi bersama.

Spirit anu beta tubat semakin menguat setelah masyarakat memetik dan merasakan buahnya. Melihat perubahan positif pada karakter anak-anak mereka yang mendapatkan pendidikan, para orangtua tidak ragu lagi mengirim anak ke sekolah. Melihat anak-anak yang berpendidikan mudah memperoleh pekerjaan, masyarakat berlomba menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka bergotong royong dan berjibaku bersama membiayai pendidikan anak. Dulu untuk mengirimkan anak ke sekolah saja para orangtua harus didorong-dorong. Kini, pendidikan mereka tempatkan sebagai prioritas dan spirit anu beta tubat menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai hambatan.

Spirit gotong royong untuk pendidikan itu bisa ditemukan di kampung-kampung untuk berbagai tingkatan pendidikan. Di tingkat sekolah dasar, spirit itu mewujud dalam upaya masyarakat menjaga keberlangsungan pendidikan di kampung mereka.

Untuk membuat guru betah mengajar di kampung, di antaranya mereka bergotong royong membuatkan kebun, membangun tempat tinggal, dan menyokong bahan makanan bagi guru yang baru ditempatkan di kampung mereka.

Masyarakat juga bergotong royong membangun atau memperbaiki bangunan sekolah, membantu pengadaan mebel, membayar gaji guru honorer, membeli buku-buku pelajaran, dan membantu membiayai ujian.

Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, baik SMP atau SMA, kebanyakan anak di Maybrat harus keluar dari kampungnya dan bersekolah di kota kecamatan, di kota kabupaten atau di kota provinsi. Mereka tinggal di asrama atau menumpang pada keluarga-keluarga di kota. Baru tingkat SMP saja orangtua sudah harus mengirimkan uang tunai setiap bulan. Padahal, penghasilan mereka sebagai petani tidaklah menentu.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com