Belajar Hidup dengan Empati, Simpati, dan Harmoni

Kompas.com - 22/12/2015, 15:35 WIB
Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Media sosial membuka ruang seluas-luasnya untuk berbagi. Sangat disayangkan jika tempat itu hanya diisi perseteruan, permusuhan, dan segala bentuk energi negatif lainnya. Ruang paling mudah dimanfaatkan dari media sosial adalah menulis dan membaca sesuatu yang membuat semangat hidup berlipat ganda.

Hal itulah yang dilontarkan S. Dian Andryanto, penulis buku '#sayabelajarhidup: Empati, Simpati & Harmoni' kepada Kompas.com, Selasa (22/12/2015). Buku itu ia terbitkan dari kumpulan tulisannya di media sosial Facebook dengan tagar #sayabelajarhidup.

"Pada awalnya saya menulis esai itu sejak 2010. Lalu, tak disengaja sejak 2013 kecenderungan menulis dengan sudut human interest makin mengerucut, terutama berkaitan dengan banyak orang yang menarik perhatian saya, baik itu di jalanan, emperan pertokoan, dan banyak tempat milik orang-orang yang terpinggirkan," ujar Dian.

Banyak hal-hal di sekitar masyarakat, lanjut Dian, yang bisa diambil dan kemudian membuat orang atau pembaca tersentuh. Semua itu ada di keseharian, tapi kerap luput dari perhatian banyak orang.

"Saya yakin, banyak pelajaran hidup itu harus dicari di banyak tempat, dan di jalanan itulah gudangnya. Bagaimana orang-orang itu survive, ikhlas, kerja keras, semangat dan bersyukur dengan hidupnya," kata Dian.

Ia sendiri tak mengira, tulisannya tentang "belajar hidup" selama ini banyak di re-post ratusan hingga ribuan orang di Facebook. Beberapa tema tulisan itu mengarah pada keprihatinan orang akan makin memudarnya toleransi, kearifan lokal, empati, dan fanatisme dalam agama dan politik yang membuat orang sering lupa.

"Orang lupa bahwa kita hidup di Indonesia ini dengan kemajemukan adat, budaya, agama dan kepercayaan yang jauh sebelum ini, yaitu sejak berabad silam sudah hidup berdampingan di Tanah Air. Keprihatinan ini ternyata banyak dirasakan mereka, setidaknya yang mengunggah kembali tulisan-tulisan saya itu," katanya.

Di buku ini, lanjut Dian, banyak orang dengan beragam profesi yang dianggapnya guru  kehidupan. Para "guru" itu dia temui di banyak tempat tanpa melihat perbedaan status sosial dan ekonominya.

Dia juga mencatat kiprah banyak orang dan keberadaannya, serta fenomena sosial yang ada. Semuanya ditulis untuk menjadi pelajaran berharga dari lingkungan terdekat, baik itu istri, anak, orang tua, sahabat dan keluarga lainnya.

"Banyak orang spesial di sekitar kita, yang kadang kita lewatkan karena kita anggap lumrah saja," ucap Dian.

Intinya, menurut Dian, buku tersebut sesungguhnya untuk mengingatkan dirinya dan mungkin orang lain, bahwa setiap orang harus lebih banyak lagi belajar tentang kehidupan dengan banyak orang yang mereka temui, siapapun itu orangnya. Pesannya sangat sederhana dan ternyata tak mudah dilakukan. Yaitu, empati, simpati, dan harmoni adalah kunci menyikapi kehidupan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau