Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Bangsa Pembelajar

Kompas.com - 04/02/2010, 07:12 WIB
 
 

Oleh St SULARTO

KOMPAS.com — Judul di atas dipungut dari usul Dr Karlina Supelli, yang disampaikan dalam diskusi buku Menjadi Bangsa Terdidik. Menurut Soedjatmoko dan buku Asia di Mata Soedjatmoko di Balai Soedjatmoko, Solo, 11 Januari 2010. Tampil bersama Prof Dr Mohtar Mas’oed, Karlina usul judul buku Menjadi Bangsa Terdidik diganti Menjadi Bangsa Pembelajar.

Pembelajar menekankan proses yang tidak pernah selesai, lebih dari kata terdidik. Orang kerap merasa sudah selesai karena sudah berpendidikan, sudah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Untuk pembelajar, kata Karlina, Soedjatmoko menggunakan kata-kata ”kemampuan kolektif seluruh bangsa untuk belajar”, seraya menegaskan ”keharusan untuk belajar bersama terus-menerus”.

Catatan singkat ini tidak ingin mempersoalkan relevan tidaknya pemikiran Soedjatmoko. Itu sudah merupakan keniscayaan. Tetapi, mau menggarisbawahi usul Karlina. Tidak terutama menyangkut judul buku, tetapi tentang perlunya paradigma tidak sampai tingkat metodologi memberikan tempat kepada pemikiran-pemikiran menerobos terbang tinggi. Cara berpikir ini mungkin tidak langsung memberikan solusi atas persoalan aktual; melainkan lebih mengajak orang memiliki pemahaman mendalam, sehingga paham betul duduk soalnya, sementara solusi diharapkan muncul dari hasil eksplorasi persoalan.

Jagat pemikiran

Setelah satu per satu pemikir menerobos terbang tinggi meninggal dan jagat pemikiran didominasi pragmatisme (Peirce dan William James), semua pemikiran yang berkembang belakangan ini langsung menampilkan solusi, menawarkan jalan keluar tanpa lebih dulu mengkajinya dari berbagai dimensi dan nuansa. Cendekiawan dan ilmuwan Indonesia, apalagi politisi praktis, tidak jauh beda dari aktivis. Yang kita saksikan tak ada lagi pemikir-pemikir besar semacam Sartono Kartodirdjo, memungut contoh yang namanya identik dengan penganjur mesu bud, asketisme intelektual.

Asketisme intelektual, ya, itulah kata suci yang telah dihidupi Soedjatmoko. Lewat pemikiran-pemikiran yang menjebol dengan berpijak pada kemanusiaan dalam konteks sosialitas masyarakat manusia, ia terus-menerus belajar.

Pendidikan dalam konsep Soedjatmoko adalah ranah untuk berbagi pengalaman batin dengan sesama anggota masyarakat. Tidak ada satu pun persoalan bangsa yang lepas dari perhatian, telaah, dan tawaran jalan keluarnya. Peristiwa 1965-1966, ada yang mengkritik lepas dari perhatian Soedjatmoko, bagi Soedjatmoko menunjukkan rapuhnya struktur sosial masyarakat majemuk. Dari sana muncul keyakinan tentang kebutuhan mekanisme efektif bagi resolusi konflik dan ketangguhan sosial, tepatnya daya lenting (resilience) masyarakat. Daya lenting membuat sebuah bangsa bertahan bukan karena paksaan stabilitas dari luar diri, melainkan bersumber dari dalam dirinya.

Uraian Karlina mengingatkan sosok Soedjatmoko lewat karya-karyanya, masih banyak yang belum dipublikasikan dan tersimpan rapi di rumah keluarga, juga pertemuan-pertemuan secara fisik dalam berbagai kesempatan selagi Soedjatmoko—Pak Koko—masih hidup (10 Januari 1922-meninggal 21 Desember 1989).

Satu di antaranya harapan Koko terhadap peranan agama untuk mengatasi berbagai persoalan dunia. Tentu ini hanya salah satu proses belajar, saat ia menyaksikan persoalan keprihatinan yang membelit dunia. Disampaikan dalam sebuah seminar terbatas, di Wisma Kompas, Pacet, 1-2 September 1989.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com