Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Bangsa Pembelajar

Kompas.com - 04/02/2010, 07:12 WIB

Dalam diskusi itu Koko mengisahkan pertemuannya dengan Paus Yohanes Paulus II di Roma dengan topik nilai hak asasi manusia. Waktu yang disediakan 10 menit, tetapi pertemuan berlangsung sampai satu jam lebih. Di antaranya mereka berdua sepakat, para agamawan sudah lama dijajah oleh para pakar. Para pakar telah mendefinisikan masalah-masalah yang dihadapi, sementara yang seharusnya para agamawan merumuskan lebih dulu masalah dari segi moral dan baru para pakar memberikan jawaban. Para agamawan sendiri tidak mampu merumuskan persoalan hak-hak dasar manusia dan angkat tangan terhadap kemerosotan moral yang terjadi.

Apa makna sepotong kisah di atas? Koko senantiasa berpikir keras untuk kemajuan bangsa ini, bahkan nyaris jadi obsesi yang terlihat dari serakan warisan karyanya. Baginya ilmu harus bermanfaat untuk perubahan dan perbaikan hidup masyarakat, sama seperti yang dianjurkan Antonio Gramsci untuk sebutan intelektual organis. Meskipun Koko masuk dalam kategori itu, tentu simpel sekali kalau lantas dia dimasukkan dalam kelompok intelektual organis. Koko, dalam memberikan gambaran dan menawarkan jalan keluar, jauh dari maksud dan latar belakang sebagai penasihat pemerintah. Memang ilmu pengetahuan harus bermanfaat bagi kemajuan masyarakat dan pemikiran-pemikiran yang dijabarkannya dimaksudkan juga untuk kebijakan pemerintah dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Yang terlihat, pemikiran Koko bercabang-cabang, antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif, antara jalan agama dan nonagama, antara rasionalitas nalar dan irasionalitas emosi, antara tradisi dan modernitas. Kedua entitas itu merupakan dua kutub sebagai realitas yang niscaya, menjadi pembatas ruang terbuka bagi pemikiran-pemikiran menerobos, terayun-ayun dalam sebuah irama yang padu untuk kemajuan masyarakat.

Dalam berpikir, Koko tidak melupakan faktor sejarah. Dia bukan seorang ahistoris—istilah yang kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh, antara lain, Arief Budiman. Realitas sejarah dia taruh sebagai bagian dari berpikir yang holistik, tidak sepenggal-sepenggal hanya demi kepentingan pragmatis. Meminjam istilah Karlina mengacu pada kebutuhan saat ini, Koko barangkali seorang sosok yang diharapkan oleh Daoed Joesoef sebagai ”seorang spesialis dalam konstruksi keseluruhan”. Koko tampil sebagai pemikir tidak hanya lewat pendekatan multidisiplin atau lintas disiplin, tetapi terutama pendekatan transdisiplin, peleburan berbagai disiplin keilmuan dalam satu pengertian untuk membentuk keterpaduan pendekatan mengenai suatu masalah.

Konstruksi keseluruhan

Dalam karya-karya Koko, termasuk yang dibukukan dalam Asia di Mata Soedjatmoko, kata panelis Mohtar Mas’oed, terlihat politik sebagai sarana penting menyelesaikan persoalan publik. Politik adalah panggilan, bukan sekadar profesi yang hanya memerlukan kepiawaian memenangi pemilu.

Demokrasi bagi Koko adalah variabel independen bahwa kemajuan kehidupan materiil tidak mungkin tercapai tanpa kemerdekaan berpikir, berbalikan dengan pengartian umum bahwa demokrasi sebagai variabel dependen—demokrasi bergantung pada tingkat kemajuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, tingkat pendidikan, dan stabilitas keamanan. Demokrasi bukan juga sekadar masalah kebijakan publik. Demokrasi memerlukan praktik politik demokratik dan itu memerlukan politisi.

Ya, dari sisi ini Koko juga seorang politisi. Lewat posisinya sebagai cendekiawan dia menawarkan solusi dengan cara mengajak setiap individu berusaha menemukan solusi. Ia pun ibarat seorang pendidik yang mengajak masyarakat berpikir tentang posisi manusia Indonesia di tengah masyarakat dunia. Karena itu, analisisnya selalu aktual, tidak dalam arti persoalan, tetapi dalam arti cara mendekati soal.

Cara berpikir demikian membuat pemikiran Koko selalu terarah untuk kebaikan umum, menjadi metode mendekati persoalan aktual.

Sosok Soedjatmoko tidak saja tampil ilmuwan asketis, tetapi juga ilmuwan yang berangkat dengan empati atas kekerdilan bangsa Indonesia. Dengan pemikiran seperti itulah tanpa sadar, ia tampil sebagai futurolog semacam Alfin Toffler dan Paul Aburdene. Jabatan dua periode sebagai Rektor Universitas PBB memberikan kesempatan bagi Soedjatmoko untuk mengenal manusia dan masyarakat manusia sebagai entitas yang harus dipahami bersama, bukan terkotak-kotak, yang obses bagi kemajuan bersama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com