Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Quo Vadis Pendidikan Karakter

Kompas.com - 24/07/2010, 15:41 WIB

Oleh MUHAMMAD SAFRODIN

Perbincangan mengenai pendidikan karakter di Indonesia belakangan semakin menghangat. Hal ini dilandasi realitas, betapa pendidikan yang kita jalani saat ini salah urus dan keliru orientasi.

Pendidikan kita belum mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul, yang jujur, bertanggung jawab, berakhlak, mulia serta humanis. Arah pendidikan kita sengaja diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan industri atau pangsa kerja belaka. Meski demikian, dalam kenyataan justru berbicara lain. Hasil lulusan pendidikan kita kurang laku di pasaran. Buktinya, jumlah pengangguran terdidik jauh lebih besar ketimbang pengangguran tak terdidik.

Kekeliruan orientasi ini menjadi kendala bagi upaya mewujudkan pembangunan karakter bangsa (character building) melalui pendidikan. Sejak bertahun-tahun lamanya, pendidikan kita belum memberikan proporsi yang besar bagi bersemainya nilai-nilai kebajikan (virtues). Pendidikan kita hanya melahirkan ahli matematika, biologi, ekonomi, teknologi, dan sebagainya, tetapi minim etika dan integritas.

Hal itu misalnya bisa dibaca dengan adanya sekolah menengah kejuruan (SMK) yang belakangan kerap diiklankan di televisi. SMK sering diplesetkan sebagai sekolah mencetak kuli. Bagaimana tidak, kurikulum yang dipakai pada jenjang ini sengaja menyiapkan para pekerja di berbagai sektor perusahaan, dengan kata lain menjadi kuli. Pada level ini, para siswa ditempa tiga tahun untuk kemudian siap dijadikan "sekrup-sekrup" para kapitalis.

Padahal, semestinya pendidikan dapat menumbuhkan rasa keingintahuan intelektual (intellectual curiosity) yang tinggi. Pendidikan idealnya membuat orang semakin haus akan ilmu pengetahuan. Belajar dan terus belajar karena pada dasarnya ilmu tak akan pernah habis meski digali terus-menerus. Namun, sistem pendidikan kita justru mengerutkan semangat itu, untuk kemudian dipaksa menggadaikan diri demi menjadi pekerja rendahan.

Pendidikan karakter menemukan signikansinya di tengah sistem pendidikan kita yang salah urus dan keliru orientasi tersebut. Pendidikan karakter berupaya mengembalikan hakikat pendidikan sesuai khittah-nya. Peserta didik diberi keleluasan menjadi dirinya sendiri, berkepribadian unggul, serta mampu memberi kemanfaatan bagi orang lain sebanyak mungkin. Selain itu, pendidikan karakter juga sebagai jawaban atas kemerosotan moral, mental, spiritual bangsa yang begitu hebat yang sulit dibendung lagi.

Jalan terjal Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia tampaknya akan menemui jalan terjal nan berliku. Meski wacana ini telah lama digulirkan, namun belum muncul solusi inovatif dan aplikatif. Wacana-wacana yang bergulir masih berkutat pada tahap idealisme-teoritis, belum menyentuh tataran praktis.

Dari segi filosofi tujuan pendidikan nasional, tampak Indonesia belum berhasil merumuskan model pendidikan yang berkelanjutan, mampu merespons gemuruh globalisasi dan modernisasi, serta mampu membentengi peserta didik dari dampak buruk globalisasi. Sialnya, setiap pergantian menteri, berganti pula kebijakan pendidikan nasional sehingga membuat pendidikan kita tak memiliki tujuan pasti.

Sistem pendidikan yang kita jalani pun hanya terpaku pada aktivitas guru, dosen, dan pendidik. Sistem demikian hanya membatasi kreativitas siswa karena menempatkan siswa pada posisi lemah, perlu dididik, tak tahu apa-apa, dan bergantung pada figur guru. Sistem pendidikan yang indoktrinatif ini-yang dikemas dalam ungkapan -guru wajib digugu dan ditiru-memosisikan siswa seperti burung beo yang harus tunduk dan patuh apa pun "sabda" sang guru.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com