Akhir November 1862, Abraham Lincoln merasa kurang percaya saat ia mengetahui perang saudara di Amerika selama empat tahun antara lain disebabkan oleh sebuah karya sastra. Sebaliknya banyak orang percaya, Uncle Tom’s Cabin
Tidak peduli apa yang dipercaya orang Amerika, tetapi jelas karya seni, sastra dalam hal ini, turut berperan dalam pembentukan sebuah peradaban. Uncle Tom’s Cabin yang sejak abad ke-19 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia hanya sebuah contoh. Dalam bahasa Indonesia, roman itu disadur ke dalam bahasa Belanda oleh Tartusi pada 1969. Hasil saduran berjudul Pondok Paman Tom yang diterbitkan Balai Pustaka mencantumkan keterangan ”Bacaan anak-anak umur 13-16 tahun”.
Bagi generasi pada masa itu dan dekade berikutnya, Pondok Paman Tom menjadi salah satu warna yang memengaruhi dunia sastra modern di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, bahkan hingga hari ini, sastra anak di Indonesia justru belum mendapat perhatian yang cukup. Belum ada penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman. Sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tak penting dalam sejarah sastra, dalam pendidikan, dan perkembangan budaya. Sastra anak bukanlah sumber dalam wacana kebudayaan kita.
Sementara itu, sejarah sastra Indonesia sejak mula ia dianggap ada, sebenarnya juga diisi oleh sub-genre anak ini. Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan dianggap sebagai perintis lahirnya sastra modern Indonesia, sejak tahun-tahun awalnya sudah menerbitkan beberapa karya sastra khusus untuk anak-anak.
Kita cukup tahu, pada masa-masa itulah Pujangga Baru memiliki pengaruh penting dalam wacana sastra dan kebudayaan, bahkan politik. Namun, kita tidak menemukan tempat di mana dunia imajiner anak, dalam bentuk literernya, ikut terlibat dalam polemik itu. Tentu berawal dari anggapan, dunia anak bukanlah bagian dari dunia ”dewasa” para pemikir elite itu.
Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjelaskan mengapa sastra anak dipinggirkan dari diskursus kebudayaan kita, dari perhitungan sejarah pendidikan, politik, seni, dan seterusnya. Apakah ini akibat lain dari kolonialisme Belanda? Atau karena dunia anak dianggap bukan variabel penting dalam perjalanan dan pembentukan adab serta kebudayaan sebuah masyarakat (bangsa)?
Sebuah rintisan yang mencoba memaknai secara lebih baik sastra anak baru dilakukan pada 1976 oleh Riris K Sarumpaet dalam bukunya, Bacaan Anak-anak. Sarumpaet membahas hakikat, sifat, corak bacaan anak-anak,