JAKARTA, KOMPAS.com — Salah seorang orangtua siswa SMAN 70 Jakarta, Ichwan Ramli, mengeluhkan betapa sulitnya memutus "tradisi" bullying yang terjadi di sekolah anaknya. Sejatinya, sejak tiga tahun lalu ia melibatkan diri untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah tersebut. Akan tetapi, langkah itu sulit dilakukan karena minimnya sinergitas antarpihak terkait. Pihak sekolah juga dinilainya terkesan membiarkan terjadinya praktik kekerasan tersebut.
Menurut catatannya, dalam beberapa tahun ini telah terjadi puluhan tindak kekerasan yang melibatkan siswa-siswa di SMA berstatus RSBI itu. Bahkan, menurut Ichwan, tidak sedikit jumlah korban dari bullying tersebut, baik itu luka secara fisik maupun psikologis.
"Tawuran dan kekerasan yang melibatkan SMAN 70 itu terjadi setiap tahun dan kasusnya mirip-mirip. Ada yang korbannya sampai gegar otak ataupun luka karena senjata tajam," katanya, Kamis (27/10/2011), di Kantor Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, Pasar Rebo, Jakarta.
Hari ini, sejumlah orangtua siswa mengadukan tindak kekerasan di SMA 70 yang semakin meresahkan mereka.
Menurut Ichwan, tindak kekerasan yang melibatkan siswa SMAN 70 sudah sangat sistemik karena terus berulang dan terjadi pembiaran meski pihak sekolah telah mengetahuinya. Tindak kekerasan tersebut dinilainya tidak terjadi secara spontan, tetapi seperti ada yang telah merancangnya. Hal itu terlihat dari beberapa kegiatan yang menjadi "ikon" sekolah tersebut, seperti "Bulungan Cup", suatu kegiatan olahraga tingkat SMA yang awalnya merupakan kegiatan positif, tetapi kemudian dibelokkan menjadi media untuk melakukan kekerasan kepada yunior.
Ichwan menjelaskan, Bulungan Cup adalah event tahunan yang dilaksanakan oleh siswa kelas tiga. Akan tetapi, para siswa kelas tiga memanfaatkan adik kelasnya sebagai sumber dana untuk kegiatan tersebut. Menurut keterangan Ichwan, pernah dalam suatu waktu semua kelas diharuskan menyetor Rp 1 juta setiap minggu untuk menutupi keperluan event tersebut.
"Di SMAN 70 juga ada budaya yang tidak masuk akal, di mana para siswa kelas satu tidak dianggap sebagai manusia, kelas dua dianggap sebagai manusia, dan siswa kelas tiga dianggap sebagai dewa. Jika uang tidak terkumpul, maka para siswa yunior akan direjes (dihukum)," ujarnya.
Tindakan bullying dan tawuran yang terjadi di SMAN 70, katanya, membuat para orangtua siswa prihatin.
"Beberapa orangtua bergabung untuk bisa memutus mata rantai ini, tapi belum berhasil dan terus berlanjut karena menciptakan dendam. Jika spontan tentu kita mengerti sebagai kenakalan biasa, tapi ini berulang dan sistemik," ujar Ichwan.
Tanggapan SMAN 70
Menanggapi keluhan para orangtua yang mengadu ke Komnas Perlindungan Anak, Kepala SMAN 70 Jakarta Sudirman Bur menyayangkan aksi sejumlah orangtua siswa tersebut. Menurut dia, para orangtua seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan ini secara internal.
"Saya rasa para orangtua bertindak terlalu jauh. Ini, kan, persoalan internal dan semua pihak sangat terbuka mendiskusikan solusinya," kata Sudirman, Kamis (27/10/2011), di Jakarta.
Namun, ia tidak menampik bahwa aksi kekerasan di kalangan siswa memang masih terjadi di sekolah yang dipimpinnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.