Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merawat Bahasa Indonesia

Kompas.com - 28/10/2011, 03:32 WIB

Oleh Salahuddin Wahid

Dari tiga butir Sumpah Pemuda, mungkin sumpah ketiga yang tidak banyak mengandung masalah.

Kita mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Namun, tanah yang satu itu sudah banyak yang dikuasai oleh pihak luar negeri, lebih banyak untuk kepentingan mereka dibandingkan dengan untuk kepentingan anak bangsa (kecuali segelintir pejabat dan pengusaha). Kesatuan wilayah Tanah Air itu kita pertahankan dengan kekerasan terhadap anak bangsa di sejumlah tempat yang memprotes ketidakadilan.

Kita mengaku berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia, tetapi rasa berbangsa satu itu kian menipis. Sejumlah daerah ingin melepaskan diri dari bangsa Indonesia karena merasa diperlakukan tidak adil.

Kondisi bangsa kita amat menyedihkan sehingga makin banyak yang mengatakan bahwa kita adalah ”bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa”. Jarang ada tulisan yang bernada positif tentang kondisi bangsa Indonesia.

Kita bertekad bahwa sebagai putra dan putri Indonesia, kita akan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tampaknya butir ketiga dari Sumpah Pemuda itulah yang masih tersisa dari ketiga butir Sumpah Pemuda. Memang ada sejumlah masalah dalam perkembangan bahasa Indonesia, tetapi secara keseluruhan masih bisa dianggap baik.

Pilihan yang tepat

Semula Mr Mohammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia, dengan alternatif bahasa Jawa. Namun, Sanusi Pane menolak. Menurutnya, bahasa persatuan bagi nusa dan bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu ataupun bahasa Jawa.

Pilihan para pemuda terhadap bahasa Melayu sebagai bahan baku bahasa Indonesia adalah pilihan yang tepat. Kebesaran jiwa para pemuda dari suku Jawa untuk tidak mengusulkan bahasa Jawa perlu dihargai. Para cendekiawan dari berbagai daerah di Nusantara itu memahami bahwa bahasa Melayu adalah lingua franca yang betul-betul hidup di seluruh wilayah Nusantara.

Dari prasasti yang ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan, (683 Masehi), dapat diketahui bahwa bahasa Melayu (kuno) sudah digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat pada saat itu. Prasasti itu menggunakan bahasa Melayu kuno dalam tulisan menggunakan aksara Pallawa. Karena Kerajaan Sriwijaya punya pengaruh luas di Nusantara, warga di wilayah Nusantara yang berinteraksi dengan Sriwijaya juga memakai bahasa Melayu.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau