Rini Kustiasih
Pendi (11), siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Batulayar, Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tampak serius. Ia berusaha mengaitkan dinamo bekas sepeda motor ke kincir buatannya dari gelas plastik air mineral, Rabu (23/5). Ia tak lagi menghiraukan temannya yang asyik bermain di sebelahnya.
Agar seperti kincir, gelas plastik air mineral itu terlebih dulu dipotong sisinya sehingga menjadi rumbai-rumbai. Lalu, bagian dasar gelas dilubangi bagian tengahnya. Dinamo bekas berukuran kecil itu kemudian berusaha dimasukkan dalam lubang yang dibikin di dasar gelas. Pendi lalu menghubungkan dinamo itu dengan baterai melalui kabel kecil yang juga bekas.
Seperti yang ia harapkan, dinamo itu bisa menggerakkan kincir angin buatannya. Kincir berputar cepat setiap kali kabel dinamo ia tempelkan ke baterai. Raut muka gembira terlihat di wajahnya. Beberapa kali ia berputar-putar seperti ingin memamerkan keberhasilan itu kepada teman-temannya.
Menariknya, aktivitas yang dilakukan Pendi itu tidak berada di dalam kelas tempat ia mengenyam pendidikan formal sehari-hari. Ia berada di alam bebas, di sebuah teras rumah milik Jumilah (28), warga Dusun Duduk Bawah, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat.
Di teras rumah yang disulap menjadi ”sekolah” itulah puluhan anak usia SD hingga SMP belajar bebas tentang apa pun, termasuk berdiskusi dan berkelompok. Apa yang dilakukan Pendi hanyalah contoh kecil kreativitas siswa yang berkembang luar biasa di sekolah alam.
Belajar dari anak
”Saya dahulu juga tidak bisa baca tulis. Di sini saya belajar membaca dan menulis dari anak sulung saya, Diana (17). Setiap hari sebelum berangkat bekerja menjadi pembantu rumah tangga, saya belajar membaca dari anak saya,” kata Jumilah, ibu tiga anak yang sejak tahun 2005 ”mendirikan” sekolah ala Jumilah di teras rumahnya.
Dorongan untuk belajar yang dimiliki Jumilah itu timbul lantaran ada program pendampingan dari Yayasan Tunas Anak Indonesia (Santai) ke desanya tahun 2003. Dari pendamping, dia mengetahui, sekolah tidak harus melulu dalam kelas. Belajar pun tak mengenal usia serta jenis kelamin. Siapa pun bisa belajar asalkan ada kemauan.
Lokasi Sekolah Jumilah pun berpindah-pindah, tetapi masih berada di lingkungan tempat tinggalnya. Siapa saja boleh berkumpul di sekolah alam itu, termasuk kaum ibu yang memanfaatkan ”kelas” Jumilah sebagai lahan ”belajar sambil mengajar”. Betapa tidak, banyak kaum ibu di desa itu yang buta huruf. Di Sekolah Jumilah, mereka berkumpul dengan anak-anaknya yang pulang sekolah, lalu belajar bersama. Tidak ada sekat antara murid dan guru. Anak dan ibu saling berbagi pengetahuan.