Sepulang sekolah, Pendi dan Iwan, kakak-beradik, menyempatkan berkumpul di Sekolah Jumilah. Di sana mereka membaca, menggambar, atau sekadar bermain. Biasanya anak kelas I-IV SD ada di sana pada siang hari. Siswa kelas VI SD datang pada hari Minggu. Teras rumah Jumilah menjelma sebagai ruang publik yang memungkinkan setiap anak belajar apa pun.
”Gurunya adalah bibi, kakak, dan ibu mereka sendiri. Kepada teman yang lain, mereka juga saling belajar,” ungkap Jumilah.
Buku, alat tulis, dan alat gambar sepenuhnya berasal dari donatur. Tahun 2009, Jumilah ingin mengembangkan sekolahnya. Ia yang baru bisa membaca dan menulis nekat menyurati Gubernur NTB M Zainul Majdi. Tahun itu Gubernur datang dan menyumbang Rp 5 juta untuk pengembangan sekolah itu.
Buku dan peralatan tulis disimpan di lemari kayu sederhana di sudut kelas. Sebuah papan tulis reyot masih dipakai di Sekolah Jumilah. Tiga bangku memanjang tersedia di sana.
Namun, seperti tampak Rabu lalu, anak-anak rupanya lebih senang duduk di lantai semen atau berlari-lari berkeliling ”kelas” berukuran sekitar 12 meter persegi itu. Beberapa meter di depan kelas, berbatasan dengan jalan kampung, mengalirlah sungai dari bukit. Di samping dan belakang kelas adalah kebun. Dari sana bisa dirasakan semilir angin yang menyegarkan.
”Dunia anak, kan, dunia bermain. Jadi, biar mereka bermain sesukanya, belajar sesuka hati,” jelas Jumilah, yang hanya bersekolah sampai kelas II SD ini.
Nilai gotong royong
Jumilah juga mengajak anak-anak membentuk Kelompok Berambas, yakni kelompok gotong royong untuk membersihkan hutan. Jarak desa tempat tinggalnya dengan hutan sekitar 10 kilometer, yaitu di bukit tempat sumber air yang kini mereka nikmati, Nangkok Siye. Di kelompok itu, anak-anak membersihkan hutan dan menanaminya dengan aneka pohon, seperti mahoni dan sengon.
Jumilah agaknya menawarkan pendidikan alternatif di luar pendidikan formal yang kian mahal. Anak-anak bermain dan berkelompok tanpa membedakan status sosial dan tingkat kecerdasannya. Setiap anak memiliki kemampuannya masing-masing. Mereka diajak saling melengkapi kekurangan dan bekerja sama. Sifat individualistis serta ketamakan dikikis. Nilai gotong royong, seperti dipesankan Bapak Bangsa, ditanamkan.
Pemandangan ini tentu kontras dengan perkembangan dunia pendidikan kita yang kian menunjukkan sekat sosial, antara si pintar dan si bodoh, si kaya dan si miskin, seperti konsep rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Ketika pintu kemajuan hanya bisa dinikmati pemilik kapital, yang terjadi ialah kesenjangan yang makin dalam dan menenggelamkan.
Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), yang pekan lalu mendampingi Kompas mengunjungi Sekolah Jumilah, memasukkan sekolah itu sebagai praktik cerdas. Praktik inovasi warga untuk menjawab tantangan yang dihadapi komunitasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.