Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran

Kompas.com - 19/10/2012, 16:24 WIB
Suhartono

Penulis

KOMPAS.com - Tawuran antarpelajar atau antarmahasiswa sekarang ini semakin menjadi-jadi dan mengerikan. Tawuran di dunia pendidikan itu telah menyebabkan pelajar ataupun mahasiswa tewas sia-sia. Dalam satu bulan terakhir, secara beruntun terjadi tawuran yang menewaskan enam orang siswa dan mahasiswa.

ewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam satu dekade.

Siswa kelas X yang hobi main band itu terkapar tak jauh dari pintu gerbang sekolahnya di SMA 6. Padahal, lokasi sekolah korban dan pelaku bertetangga dan berada di kawasan strategis di Jakarta Selatan.

Sebulan sebelumnya, Jasuli (16), siswa kelas IX SMP 6, tewas disambar commuter line di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Ia tewas ditabrak kereta saat dikejar sekelompok pelajar lain. Jasuli yang saat itu berseragam pramuka berlari sendirian.

Dua hari setelah kematian Alawy, menyusul Deny Yanuar (17) alias Yadut, siswa SMK Yayasan Karya 66 (Yake). Ia juga tewas disabet celurit AD alias Djarot (15) dibantu rekannya, EK dan GAL. Yadut tergeletak tak jauh dari sekolahnya di Jalan Minangkabau, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia tewas mengenaskan setelah dikeroyok pelajar SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.

Kasus kematian Alawy dan Denny masih diusut, pecah lagi tawuran di bundaran Pancoran, Jakarta Selatan. Kali ini pelakunya siswa SMK Bakti, Cawang, Jakarta Timur, dengan SMK 29 Penerbangan, Jakarta Selatan, Kamis (11/10).

Meski tak ada yang tewas, namun, Rizki Alfian (15) alias Pepen dan Jalal Muhammad Akbar (16)—keduanya siswa SMK Bakti Jakarta—luka berat. Polisi kemudian menetapkan enam tersangka dari siswa SMK 29. Lima hari berselang, 80 siswa SMK Bakti ingin membalas dendam kepada siswa-siswa SMK. Mereka membawa bom molotov, celurit, golok, gir, dan lainnya.

Rencana para siswa itu tercium petugas dan guru sehingga mereka digiring ke halaman Polres Jakarta Selatan. Dari 80 siswa, polisi kemudian menetapkan 12 siswa sebagai tersangka.

Di Bogor, juga terjadi tawuran yang menyebabkan tewasnya seorang pelajar, Agung (17). Polisi membekuk Ga (15), siswa SMP yang diduga terlibat penganiayaan dengan celurit hingga menyebabkan korban tewas.

Tawuran juga terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, Kamis (11/10) lalu. Buntut dari tawuran itu, dua orang mahasiswa UNM tewas. Kepolisian Resor Kota Besar Makassar menetapkan MAB (20) dan kakaknya, MA (21), sebagai tersangka. Korban tewas adalah Rizky Munandar, mahasiswa UNM, dan Haryanto, mantan mahasiswa UNM.

Perubahan kurikulum

Makin maraknya tawuran di dunia pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja polisi yang sudah menggunung. Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena tawuran pelajar yang makin deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati jangan sampai dijadikan kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani. Sementara itu, banyak sekali kasus lain yang juga harus mendapat prioritas.

Hal itu ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Radjab, Rabu lalu. ”Jangan hanya menyerahkan kepada polisi saja jika sudah terjadi tawuran. Tetapi, bagaimana pencegahannya dan pembinaannya justru di rumah dan di sekolah. Polisi sudah menangani. Ada teknik dan aturan hukum yang diterapkan terhadap siapa pun pelakunya. Namun, ada pertimbangan dan kebijakan lain, karena ini menyangkut anak di bawah umur,” papar Untung.

Sementara bagi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang ini menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. ”Uji publiknya pada Februari 2013. Sekarang masih dikerjakan,” ujar Musliar saat ditanya Kompas di sela-sela pelatihan ESQ di Menara 165, Jakarta, pekan lalu.

Musliar mengakui, kurikulum yang berbasis kompetensi sekarang ini menyebabkan mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani untuk belajar.

Halaman:
Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau