Bukan Zamannya Menghafal Pelajaran

Kompas.com - 08/12/2012, 09:03 WIB
Haryo Damardono

Penulis

KOMPAS.com - "Saya ingin menciptakan alat suntik yang bisa menyuntik sendiri. Jadi, alat itu menyuntik setelah teman-teman memencet sendiri komputer karena teman-teman takut kepada dokter,” kata Isabella, murid TK B Sekolah Citra Berkat. Usianya baru lima tahun, tetapi dia telah berpikir untuk menciptakan sesuatu.

Isabella merupakan pelajar Sekolah Citra Berkat, Bukit Palma, Surabaya, lembaga pendidikan yang didirikan Grup Ciputra. Meski mendasarkan diri pada kurikulum nasional 2006, sekolah ini menekankan pada pembentukan pola pikir dan karakter kewirausahaan atau entrepreneurship.

Tidak heran apabila sejak dini, pelajar di sekolah-sekolah Grup Ciputra sudah diajak mengamati berbagai kegiatan bisnis, di antaranya mengunjungi toko dan bengkel mobil.

”Kami berangkat dari pandangan bahwa keinginan Indonesia untuk menjadi negara maju harus dengan menambah jumlah pencipta kerja atau entrepreneur,” kata Antonius Tanan, Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC).

Menurut Antonius Tanan, dalam waktu singkat harus diperbanyak anak-anak Indonesia seperti Isabella. Sebab, kini hanya kurang dari 2 persen penduduk Indonesia merupakan entrepreneur.

Menjamurnya pedagang atau kawasan komersial pada saat ini tidak selalu dipandang positif oleh Antonius Tanan. Ada kalanya mereka berdagang karena terpaksa (necessity entrepreneur), wirausaha yang justru menambah panjang rantai perdagangan (redistribusi), pedagang yang sekadar meramaikan tren atau istilah kerennya follower (replikatif).

”Yang dibutuhkan adalah entrepreneur inovatif,” ujarnya.

Wirausaha seperti itu sangat dibutuhkan bukan hanya untuk dunia perdagangan, melainkan juga untuk menciptakan berbagai produk, seperti mobil, motor, dan telepon seluler. Produk yang nantinya layak dilabeli ”made in Indonesia”.

Dalam diskusi pendidikan terkait rencana pemberlakuan Kurikulum 2013, Senin (3/12), di Bentara Budaya Jakarta, misalnya, diangkat realitas jumlah telepon seluler yang melebihi jumlah penduduk Indonesia. Ironisnya, benda itu diimpor dari negara lain.

Perdebatan di Bentara Budaya Jakarta senapas dengan realitas di lapangan. Pada awal Desember 2012 ini ramai dibicarakan di media tentang defisit neraca perdagangan Indonesia bulan Oktober 2012 yang defisit 1,55 miliar dollar Amerika Serikat. Inilah defisit bulanan terbesar sepanjang sejarah, salah satunya karena impor pesawat.

Persoalannya, relatif sulit membentuk generasi muda wirausaha di Indonesia dibanding di negara Asia lain karena lingkungan tidak mendukung. ”Maka, diperlukan intervensi lewat sekolah. Jadi, pendidikanlah yang dapat mengubah wajah Indonesia pada masa depan,” katanya.

Antonius Tanan mengharapkan, Kurikulum 2013 yang sedikit banyak memuat nilai entrepreneurship harus lebih ”dibungkus” dengan program yang mewujudkan nilai-nilai tersebut.

Agung Waluyo, Direktur Program UCEC, mengingatkan, sebaiknya tidak ada penyeragaman dalam pendidikan. ”Papua, misalnya, berbeda. Jadi, tidak dapat (kurikulumnya) disamakan dengan di Jawa,” ujarnya.

Sekolah berkarakter lain, seperti sekolah dengan latar belakang agama, juga masih diminati. Kurikulumnya nasional, tetapi dipadukan dengan nilai-nilai khusus.

Antonius Yanto, guru SD Ursula, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, menginformasikan, kapasitas sekolahnya selalu maksimal. ”Mengapa selalu diminati? Karena kami menawarkan kedisiplinan,” ujar Silviana, rekan guru lain. Meski menawarkan pendidikan berkarakter agama Katolik, nyatanya sekitar 20 persen pelajar non-Katolik. ”Di SMP Santa Ursula, porsinya bisa 50 persen non-Katolik,” tuturnya.

Halaman:
Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau