Bukan Zamannya Menghafal Pelajaran

Kompas.com - 08/12/2012, 09:03 WIB
Haryo Damardono

Penulis

Disiplin juga merupakan salah satu alasan kuat mengapa General Manager Business Radio Sonora Wahyu Astuti menyekolahkan putrinya di SD Sang Timur di Tangerang, Banten. ”Disiplin tidak selalu berarti tak pernah telat, tetapi menghargai waktu dan bertanggung jawab,” ujarnya.

Wahyu tidak menghiraukan stigma bahwa hanya pelajar di sekolah negeri yang nantinya dapat mengenyam pendidikan di universitas negeri terkemuka. ”Saya juga bukan lulusan universitas negeri top, tetapi dapat menyumbangkan kontribusi kerja yang baik. Ada pula nilai-nilai unggul yang dapat dipelajari dari sekolah swasta,” ujar Wahyu, lulusan Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang.

Belajar lebih aktif

Di balik riuhnya kafe, restoran, dan pertokoan di Kemang, Jakarta, Sekolah Kembang juga menawarkan oase tersendiri bagi dunia pendidikan Indonesia. Sekolah yang mendorong anak- anak menjadi pembelajar sejati, tidak sekadar pelajar instan.

Hari Rabu (5/12) pagi, pelajar di kelas I, misalnya, mempelajari pengurangan dengan terlebih dahulu menghitung bulatan di lembar soal. Belajar perkalian juga dengan proses, bukan hafalan. Yang ditekankan adalah prosesnya, bukan cuma hasil.

”Kami memang menjalankan sistem active learning,” ujar Wakil Kepala Sekolah Kembang Lestia Primayanti.

Dia tidak sedang berbasa-basi. Kegiatan belajar-mengajar di kelas menunjukkan proses itu. Sejumlah mahasiswa tamu juga tampak sedang mengobservasi.

Alhasil, pelajar kelas VI, Zahra Aninda Pradiva, misalnya, mampu menjelaskan Iran dengan pengembangan nuklirnya. Bukannya diharuskan menghafal nama ibu kota, Zahra dan teman-temannya diminta mempelajari sebuah negara dan mempresentasikan kelebihan dari negara tersebut.

”Nuklir bisa untuk mengatasi kekurangan listrik. Indonesia harusnya punya, tetapi harus berhati-hati supaya tidak bocor seperti di Jepang,” ujar Zahra dengan percaya diri.

Meski baru duduk di sekolah dasar, Zahra pernah mendapat tugas mewawancarai sebuah grup musik yang pentas di Sekolah Al-Azhar Bintaro. ”Saya menanyakan kapan berdirinya dan genre musik mereka,” ujarnya.

Menurut Lestia, Sekolah Kembang memakai kurikulum nasional, tetapi sedikit nyeleneh. Ambil contoh, sekolah itu tidak mengharuskan siswanya berseragam selain mengganti pelajaran agama dengan religion knowledge yang memperkenalkan semua agama.

Walau demikian, para guru mengabdi penuh pada pendidikan. Mereka mengajar dengan sabar, lemah lembut, dan selalu membimbing siswa di kelas. Jumlah jam mengajar guru memang relatif sedikit—14 jam per pekan—yang memungkinkan guru mempersiapkan bahan ajar dengan matang.

Ketika menghadapi ujian nasional, menariknya, pelajar Sekolah Kembang tidak tergagap- gagap. Nilai rata-rata UN 2011/2012, misalnya, untuk Matematika mencapai 9, IPA 8, dan Bahasa Indonesia 8,97.

”UN tak masalah,” kata Lestia.

Nilai UN yang dicapai relatif tinggi meskipun sistem pembelajaran tidak dengan menggenjot siswa. Semua siswa benar-benar menikmati proses belajar. Mungkin ini yang dikatakan Romo Mangun sebagai ”pendidikan yang membebaskan”.

Siang itu, dengan mata berbinar dan sesekali menggerakkan tangannya, Jasmine Nadila Putri, pelajar kelas V, menceritakan tentang Papua sebagai bagian dari tugasnya untuk mempelajari Indonesia. ”Kalau mau wisata ke Papua. Biar aman naik Garuda. Harga tiketnya Rp 3,6 juta, itu one way, lho, ya. Alamnya indah sekali,” ujar Jasmine.

Tahu dari mana, Jasmine? ”Dari Google,” ujar Jasmine sambil tersenyum manis. Jasmine gemar matematika. Alasannya, tak perlu banyak mengingat dalam matematika, tinggal menghitung saja.

Zaman sudah berubah. Bagi generasi Z seperti Jasmine, mungkin menghafal sudah bukan zamannya lagi. Siapa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? ”Hmm, tidak tahu,” ujar Jasmine dengan tetap ceria.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau