KOMPAS.com - Ia mengesampingkan bantuan pemerintah untuk membangun gedung sekolah karena ingin membuktikan keberadaan fasilitas pendidikan benar-benar atas prakarsa warga dan masyarakat membutuhkannya. Pancingan itu terwujud lewat bangunan permanen sebagai tempat belajar, yang material batu bata, pasir, genteng, bambu, dan kayunya adalah sumbangan warga.
Keberadaan bangunan itu tidak lepas dari kegigihan, keuletan, dan sikap pantang menyerah Muzani (31), warga Dusun Dasan Sukamaju, Desa Rempung, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, selaku penggerak, motivator, dan inovator.
”Saya bukan menolak sumbangan, tetapi saya punya prinsip, berbuat dulu dengan kemampuan sendiri,” kata Muzani, menampik saran sejumlah instansi agar kegiatan belajar- mengajarnya mendapat subsidi dari pemerintah.
Komitmen yang diwujudkan secara nyata itu mengantarkannya menjadi Juara I Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan tingkat Kabupaten Lombok Timur, tingkat Provinsi NTB, dan Juara IV Pemuda Pelopor se-Indonesia pada tahun 2012.
Bangunan tempat belajar di bawah naungan Yayasan Maja Nubul Ilmi yang dipimpin Muzani, berdiri di areal 3 are (sekitar 300 meter persegi), tanah hak milik yang disumbangkan H Mansur Maturidi, ayah Muzani. Bangunannya terdiri dari dua unit permanen; satu lokal dengan tiga ruangan, dan satu unit lagi meliputi ruang dalam dan teras, yang ruang- ruangannya tidak disekat.
Rumahnya yang berada di areal itu juga, dari ruang tamu hingga teras dijadikan kelas, termasuk halaman yang ”disulap” menjadi ruang belajar darurat, bertiang bambu, beratap genteng bekas, dan lantai semen. Para siswa duduk di lantai, hanya ada beberapa meja kecil sebagai alas para siswa untuk menulis.
Kondisi itu lebih baik dibandingkan tahun 2009, sejak Muzani serius merintis sarana pendidikan ini. Semula tempat belajar siswa di berugak (bale-bale) dengan jumlah siswa 10 orang. Belakangan jumlah itu membengkak menjadi 60 orang dan tahun 2013 tercatat sudah 386 siswa. Karena terbatasnya ruang belajar, para siswa pernah belajar di kebun di bawah pohon beralaskan tikar.
Radio komunitas
Melihat keseriusan Muzani, warga sekitar ”turun tangan” membantu membangun ruang belajar, yang sekaligus menyatu dengan mushala. Muzani menolak karena tempat itu dihajatkan untuk ruang belajar, bukan untuk shalat. Warga akhirnya mengamini argumentasi Muzani.
Proses kegiatan belajar di sekolah ini meliputi Taman Pendidikan Al Quran, dan Raudatul Atfal yang muridnya dari siswa SD, SMP, dan SMA, serta pendidikan anak usia dini (PAUD). Materi pelajarannya Bahasa Arab, Bahasa Inggris, fikih, akidah, akhlak, belajar membaca Al Quran, kesenian/keterampilan, tilawah, dakwah, tartil, dan musik. Jam belajar siswa PAUD pukul 06.30 hingga 09.15, dilanjutkan pukul 15.00-17.00 untuk belajar keagamaan, dan pukul 19.00- 20.30 untuk belajar mengaji.
Untuk memacu semangat para siswa, Muzani merangsangnya lewat radio komunitas. Kebetulan ada siswanya yang terampil merakit perangkat alat komunikasi. Radio ini radius penyiarannya sekitar 1 kilometer, diperkuat dua penyiar yang juga siswa pondok itu, dengan lama siaran dua sampai tiga jam sehari, terutama saat jam-jam belajar berjalan.
Siswa secara bergiliran berlatih menjadi penyiar sekaligus mengaji di depan corong radio. ”Pagi sebelum belajar, anak-anak belajar sebagai penyiar sekaligus mengaji. Karena itu, anak-anak berlomba bangun pagi, datang lebih dulu ke sekolah, biar bisa ngaji di corong radio dan suaranya didengar oleh orangtua mereka serta warga dusun,” tutur Muzani.
Wawasan
Sistem belajar pun dibuat lebih komunikatif. Siswa diajak menyanyi dan menari untuk menghafal materi pelajaran sebab dengan cara itu siswa lebih mudah menerima pelajaran. Bahkan, siswa diwajibkan menulis tangan 30 juz ayat Al Quran. Tak heran ada anak yang menuntaskan tiga sampai empat kali menulis semua ayat Al Quran dalam dua pekan.
Muzani mengakui, institusi pendidikan itu didirikan, antara lain, karena kemiskinan warga. Mereka umumnya hanya berpenghasilan sebagai buruh petambang batu apung. Karena kondisi seperti itu, banyak anak yang putus sekolah, bahkan tidak pernah sekolah. Di pihak lain, banyak terjadi perkawinan usia dini. Apalagi ada anggapan di kalangan orangtua, bila anak perempuan belum menikah dalam usia SMP, anak perempuan itu dijuluki dedare mosot (perempuan lajang, tidak laku).