"Membina" PTS

Kompas.com - 21/03/2013, 09:47 WIB

Oleh Elfindri

KOMPAS.com - Sekitar 70 persen anak Indonesia pada usia emasnya mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi swasta. Ironisnya, pembinaan terhadap PTS sangat minim, sementara persoalan internal sangat kompleks.

Belum lagi soal konflik internal, mutu dosen, dan akuntabilitas penyelenggaraannya. Pemerintah terlena memperhatikan perguruan tinggi negeri (PTN), tapi lupa mengapitalisasi gagasan untuk memajukan perguruan tinggi swasta (PTS).

Pendidikan tinggi Indonesia menghadapi tantangan berat. Dikatakan berat karena ada rencana untuk meningkatkan tenaga kerja terdidik. Proporsi tenaga kerja tahun 2025 diperkirakan akan diisi oleh 8 persen lulusan berpendidikan strata satu (S-1) dan 8 persen diploma I-III (D-I/D-III). Artinya, komposisi tenaga kerja terdidik akan menjadi 16 persen. Sementara tahun 2010, komposisi angkatan kerja tersebut tidak lebih dari 7,5 persen, terdiri atas 2,6 persen berpendidikan S1 dan sisanya tamatan D-I hingga D-III.

Sekarang ada sekitar 4,5 juta anak pada masa usia emas yang dilayani oleh 95 PTN dan sekitar 3.000 PTS besar dan kecil. Sekitar 70 persen anak-anak yang mengecap pendidikan tinggi menghabiskan masa emasnya di PTS, dan sisanya di PTN.

PTN dan PTS relatif memiliki jurang kualitas yang berbeda serta distribusi jenis dan jenjang penyelenggara antartempat yang sangat timpang. Dua pertiga perguruan tinggi berada di Jawa. Bukan tidak mungkin tersedia PTS yang baik, tetapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sisanya PTS ”Senin-Kamis” yang bertahan dengan berbagai persoalannya, di antaranya sebanyak 201 penyelenggara PTS menghadapi krisis internal.

Jenjang pendidikan tinggi di Indonesia dihadapkan pada permintaan yang tinggi. Selain dari faktor pergeseran usia penduduk, kemajuan ekonomi telah menambah kemungkinan anak- anak dari keluarga menengah memasuki jenjang pendidikan tinggi. Tantangan terbesar adalah bagaimana menyediakan pendidikan tinggi dalam menghadapi begitu pesatnya pertumbuhan permintaan itu sendiri.

Perbesar pemerataan

Guna menjawab tantangan besar tersebut, pemerintah masih mendua dalam memastikan agar pemerataan pendidikan tinggi terpenuhi. Langkah yang sangat keliru dilakukan adalah memperbesar daya tampung PTN.

Di Universitas Andalas misalnya, daya tampung kampus direncanakan maksimum 20.000. Dalam kenyataannya, saat ini jumlah mahasiswa sudah melebihi angka 26.000. Perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor sekalipun juga memiliki jumlah mahasiswa yang melebihi daya tampungnya.

Konsekuensi apa yang dihasilkan dengan menambah beban PTN? Dampak yang pasti adalah menurunnya kinerja akademik. Baik lambannya produktivitas riset dosen maupun sulitnya memenuhi dosen yang berkualifikasi strata tiga (S-3). Ini sebagai akibat dari tingginya rata-rata jam mengajar dosen. Jadi, jelas, mengejar mutu pendidikan akan berbenturan dengan peningkatan jumlah daya tampung.

Dalam mengantisipasi itu, tahun ini tengah diproses pendirian sekitar 101 politeknik negeri baru. Caranya dengan menegerikan politeknik swasta serta mendirikan yang baru. Upaya ini sangat strategis dan semakin baik jika dilaksanakan seiring dengan persiapan tenaga dosen dan laboratorium.

Biaya penyelenggaraan politeknik sebenarnya bisa 4-5 kali lebih besar dibandingkan pendidikan tinggi umum. Akan tetapi, jika daya tampung politeknik per angkatan sekitar 500 orang, pertambahan dari permintaan akan jenjang pendidikan tinggi baru akan terakomodasi untuk sekitar 50.000 calon mahasiswa per tahun. Padahal, kalau kita perhatikan, mahasiswa baru sampai tahun 2020 diperkirakan akan bertambah 4 juta-4,5 juta orang dari kondisi keadaan sekarang.

Langkah lainnya adalah dengan menata keberadaan PTS yang jumlahnya sekitar 3.000. Asumsi yang digunakan pemerintah adalah PTS itu dibiarkan beroperasi melalui mekanisme ”pasar”, mengingat pemerintah hampir tidak berperan dalam menyediakan tenaga dosen serta anggaran. Kontrol dan regulasi lebih sekadar seperti seorang ”satpam”: menjaga keamanan, di antaranya menertibkan kelas jauh, menertibkan dosen, dan sebagainya.

Proses pembinaan yang diharapkan muncul dari koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) diperkirakan tidak berjalan. Mengingat para koordinator akan hilir mudik mengunjungi PTS setiap wisuda, di mana konsep pembinaannya sangat minim.

Konsepsi bagaimana negara dalam membangun sistem dan prioritas pendidikan di PTS tampaknya diserahkan sepenuhnya kepada pihak yayasan dan pimpinan eksekutif. Padahal, pembinaan bisa dilakukan secara sistemik, di antaranya dalam mengembangkan arah PTS, pengembangan mutu dosen, dan pengembangan jurusan.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau