KOMPAS.com - Seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu ada siswa yang mencontek saat ujian nasional. Keberadaan guru pengawas tak menjadi hambatan. Bahkan, ada sebagian guru maupun pimpinan sekolah justru menyuruh siswa mencontek demi menjaga citra baik guru dan akreditasi sekolah.
Namun, perbuatan tidak jujur bukan monopoli dunia pendidikan. Ketidakjujuran terjadi di berbagai bidang, mulai sosial, ekonomi, politik, hingga hukum. Alhasil, mencontek, plagiat, korupsi, menyuap, manipulasi data, berbohong, hingga selingkuh, mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita setiap hari.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Selasa (23/4), mengatakan, manusia berbuat tidak jujur karena ingin mencari kenyamanan, kesenangan, dan ketenangan. Usaha mencari kebahagiaan adalah sifat alamiah manusia.
Tetapi, sebagian orang mencari kebahagiaan dengan berlaku tidak jujur. Padahal, kebahagiaan yang diperoleh dengan cara berdusta, manipulatif, hingga berlaku tak amanah itu bersifat sementara dan semu.
”Otak manusia didesain agar manusia berbuat jujur. Tetapi, ada bagian otak manusia yang berperan membuat manusia berlaku tidak jujur,” katanya.
Saat manusia dihadapkan pada hal-hal yang menuntut kejujuran, pikiran sadarnya akan terusik. Proses ini berlangsung di bagian otak depan yang disebut korteks prefrontalis. Bagian otak ini berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk tindakan menimbang, menganalisis, hingga memperhitungkan risiko, baik-buruk, maupun untung-rugi sebuah keputusan atau tindakan.
”Proses pengambilan keputusan sejatinya adalah proses berpikir,” katanya. Dengan berpikir, setiap stimulus yang muncul dipilah dan dipilih terlebih dahulu untuk selanjutnya memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan.
Kecepatan proses berpikir untuk pengambilan keputusan berbeda pada setiap orang. Ada yang cepat, namun ada pula yang lambat. Kecepatan berpikir sangat bergantung pada dibiasakan atau tidaknya otak untuk berpikir.
Ada sebagian orang yang tidak mampu memikirkan tindakan yang akan dilakukan atau berpikir dengan tergesa-gesa. Ada pula, orang yang baru berpikir setelah tindakan dilakukan. Itu menunjukkan stimulus yang ada langsung direspons dengan tindakan impulsif yang terkadang bersifat destruktif dan menimbulkan penyesalan.
Tindakan yang diambil tanpa proses berpikir menunjukkan kurang berperannya korteks prefrontalis. Bagian otak yang lebih mendominasi pengambilan keputusan yang tergesa-gesa adalah sistem limbik di otak bagian tengah. Sistem limbik mengatur hal-hal terkait emosi, seperti rasa takut, cemas, atau khawatir.
Karena emosi lebih mengemuka dalam pengambilan keputusan, tindakan yang diambil adalah hal-hal yang menenangkan dan menyenangkan emosi saja, tindakan untuk bertahan hidup semata, dan tidak memperhitungkan dampak jangka panjang.
Saat berbuat jujur, otak akan mengeluarkan serotonin dan oksitosin, zat kimia pengirim sinyal (neurotransmitter) yang membuat manusia merasa nyaman, tenang, lega, dan bahagia.
Adapun saat berlaku tidak jujur, neurotransmitter yang muncul adalah kortisol yang membuat manusia merasa bersalah, stres, tertekan, waswas, dan tidak nyaman. Ini yang membuat orang yang berbuat tidak jujur selalu diliputi ketakutan jika kebohongannya terungkap.
Evolusi otak
Menurut Taufiq, otak bagian depan manusia dan korteks prefrontalis adalah bagian otak yang berkembang paling akhir dalam evolusi otak makhluk hidup, hingga disebut neokorteks. Otak berbagai binatang lebih banyak didominasi oleh otak bagian tengah (tempat sistem limbik) dan otak belakang yang disebut paleokorteks.