"Down Syndrome" Bukan Akhir Dunia...

Kompas.com - 26/02/2016, 17:03 WIB
Reza Pahlevi

Penulis


KOMPAS.com
- Pada November 2014, situs web BuzzFeed mengangkat kisah dua sahabat penyandang down syndrome yang meraup penghasilan lebih dari 20.000 dollar AS atau sekitar Rp 260 juta dengan kurs saat ini. Mereka, Sam Suchmann dan Mattie Zufelt, membuat film bertema zombi dan dokumenter tentang proses pembuatan film tersebut.

Kedua sahabat itu membuktikan, penyandang down syndrome bukan tak punya kesempatan untuk berprestasi, bekerja, atau membuat karya. Di Indonesia, ada Stephanie Handojo (24), juga penderita down syndrome, yang memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pemain piano dan membawakan 22 lagu pada 2009.

Pada 2011, Stephanie bahkan meraih medali emas pada Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani, dalam cabang renang. Lalu, dia pun mewakili Indonesia sebagai satu dari 20 pembawa obor Olimpiade Inggris pada 2012, menyisihkan 12 juta anak sedunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2009 memperkirakan, jumlah penyandang disabilitas—dari semua kategori disabilitas—di Indonesia mencapai 10 persen populasi. Adapun data Kementerian Sosial menyatakan pada 2010 ada 11 juta penyandang disabilitas dari semua kategori, dengan 7 juta di antaranya terserap dunia kerja.

Kesempatan

Masih merujuk data pada 2010, di seluruh dunia diperkirakan ada 8 juta penyandang down syndrome dan 300.000 di antaranya di Indonesia. Namun, kesempatan semacam kisah dua sahabat dan Stephanie di atas belum datang pada semua penyandang down syndrome.

"Masih banyak perusahaan yang belum bisa menerima penyandang disabilitas atau tunagrahita untuk bekerja," kata Natasya Vierashi dari Special Olympics Indonesia, wadah bagi penyandang down syndrome sekaligus menyalurkan bakat mereka di bidang olahraga.

Ditemui dalam acara store experience, di Lotte Avenue, Jakarta, Rabu (24/2/2016), Natasya menuturkan lembaganya menjalin kerja sama dengan Uniqlo, perusahaan ritel asal Jepang, untuk penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas. Saat ini, sebut dia, ada empat tunagrahita yang bekerja di perusahaan tersebut setelah lolos saringan usia, kemauan, dan kemampuan.

"Salah satu syarat ialah usia di atas 19 tahun," ujar Natasya.

Namun, dia mengaku butuh waktu tambahan untuk memberikan pengertian kepada para penyandang tunagrahita tentang praktik bekerja.

"Rata-rata mereka yang berkebutuhan khusus ini mood-nya naik turun. Perlu kesabaran membimbing mereka," aku Natasya.

Down syndrome merupakan kondisi bawaan karena kelainan genetika—tepatnya di kromosom 21, atau kerap disebut sebagai Trisomy 21—yang menyebabkan perkembangan fisik maupun intelektual lebih lambat daripada rata-rata manusia. Kelainan kromosom ini pertama kali dikenali oleh John Langdong Down pada 1866. Diperkirakan satu bayi dari setiap 800 kelahiran berisiko menyandang down syndrome.

Namun, penyandang down syndrome memiliki tingkat kemampuan fisik dan intelektual beragam. Selain dari faktor kromosom, perbedaan kemampuan itu juga dipengaruhi oleh perawatan dan penanganan yang mereka dapat pada golden age, yaitu sejak kelahiran sampai usia 5 tahun.

Titis Karyani, perwakilan dari Uniqlo Indonesia, mengungkapkan perekrutan tenaga kerja tunagrahita di perusahaannya merupakan kebijakan global, setelah dimulai di Jepang pada 2009. 

"Ini untuk membantu penyandang tunaghrahita supaya bisa bekerja dan mandiri," kata dia.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau