Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Anak-Anak Asosial

Kompas.com - 09/05/2016, 19:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Waktu SMA saya berkawan dengan anak-anak nakal. Prestasi belajar mereka di sekolah sangat minim. Mereka dicap sebagai anak-anak bodoh. Alih-alih mendidik dan membimbing, guru-guru lebih sering memperlakukan mereka sebagai musuh atau penyakit di sekolah.

Mereka kemudian meneguhkan cap itu. Mereka menikmati “permusuhan” yang diciptakan oleh guru dan lingkungan. Mereka bangga dengan itu.

Makin nakal seseorang makin hebat dia di dalam kelompok. Anak yang berani menunjukkan kenakalan yang tidak berani dilakukan oleh anak lain, akan menjadi pemimpin. Maka terjadilah perlombaan kenakalan di dalam kelompok itu.

Berbagai jenis kenakalan mereka lakukan. Mulai dari yang sifatnya internal seperti merokok dan minum arak. Waktu itu narkoba masih sangat sulit didapat, belum menggila seperti sekarang.

Maka anak yang dianggap paling nakal biasanya berani merokok dan minum di sekolah, seperti di kantin atau warung di dekat sekolah. Yang lain akan ikut untuk memamerkan bahwa mereka nakal.

Di tingkat yang lebih tinggi kenakalan mereka adalah mengganggu orang. Baik orang-orang di sekolah maupun masyarakat umum. Yang berani menantang orang berkelahi adalah jagoan, dan ia akan ditakuti dan dihormati.

Saya sedikit berbeda dari mereka. Saya cukup berprestasi dalam pelajaran. Saya juga sering mewakili sekolah dalam lomba cerdas cermat. Tapi saya tidak suka diberi citra bahwa anak pintar itu tertib dan penurut.

Saya membangun citra diri yang pintar, tapi sekaligus nakal. Di samping itu saya mencoba mencari perhatian anak perempuan yang saya sukai dengan menunjukkan kenakalan. Yang terakhir ini tidak begitu berhasil sebenarnya.

Dalam kumpulan seperti ini kebaikan adalah musuh. Kalau ada yang mencoba mencegah seseorang melakukan keburukan, maka ia akan dianggap sebagai musuh, atau setidaknya pengganggu. Ia akan dikucilkan.

Maka arus utamanya adalah keburukan dan kenakalan. Kelompok akan bergerak menjadi kelompok yang makin buruk dan makin nakal.

Berbagai tata krama sengaja diabaikan dengan bangga. Berbagai aturan sosial dilanggar dengan riang. Orang-orang di sekitar mereka, orang tua, guru, perangkat masyarakat seperti polisi, adalah musuh yang perlu dilawan dan dilecehkan.

Bila ini terus berkembang maka anak-anak seperti ini akan menjadi anak-anak asosial. Tindakan mereka adalah negasi atas semua tatanan sosial di sekitar mereka.

Kelompok seperti inilah yang sering kita saksikan melakukan kejahatan yang tidak masuk akal, seperti pembunuhan dan pemerkosaan.

Ada 3 hal yang menjadi rem yang menahan saya dari melakukan kenakalan yang berlebihan saat berkumpul bersama mereka.

Pertama, rasa takut internal. Saya takut melakukan hal-hal berbahaya, termasuk takut berkelahi. Dorongan untuk mendapat pengakuan tidak begitu kuat, karena tanpa nakal berlebihan pun teman-teman saya sudah segan pada saya, karena prestasi belajar yang saya miliki.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com