Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Anak-Anak Asosial

Kompas.com - 09/05/2016, 19:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Jadi kalau sudah membahayakan, biasanya saya tidak lagi mau ikut. Saat ngebut dengan sepeda motor misalnya, pada titik tertentu saya tidak berani lagi melarikan motor lebih kencang. Motor segera saya pelankan.

Kedua, iman. Saya lulusan madrasah tsanawiyah, tidak pernah meninggalkan salat. Saya juga tidak mau minum miras, karena saya menganggapnya haram. Siksa neraka cukup membuat saya takut menyentuhnya.

Ketiga, saya punya mimpi. Saya ingin sekolah ke luar negeri, mimpi yang saya bangun sejak kecil. Jadi, apapun yang saya hitung bisa menjauhkan saya dari mimpi itu akan saya hindari.

Anak-anak asosial ini umumnya adalah anak-anak yang jauh dari orang tua. Mereka dibesarkan hanya dengan uang. Orang tua tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan mereka.

Kesalahan anak hanya diganjar dengan kemarahan dan hukuman orang tua, tak jarang berupa kekerasan. Keakraban dan kehangatan keluarga tidak terasa di rumah.

 

Ada pula orang tua yang menganggap kenakalan itu sebagai sesuatu yang hebat. Anak yang berani berkelahi dianggap anak hebat, karena pemberani. Anak tumbuh dalam arah yang salah.

Lalu, apa yang dibutuhkan untuk mencegah terbentuknya anak-anak asosial ini? Peran terpenting ada pada orang tua. Kemudian pada guru-guru.

Anak-anak harus diasuh dan dididik dalam keakraban dan kehangatan. Nilai-nilai ditumbuhkan dengan kasih sayang, bukan permusuhan. Agama harus ditumbuhkan menjadi basis perilaku positif, bukan sekedar kumpulan ritual.

Anak-anak harus diberi mimpi, kemudian diarahkan untuk melakukan berbagai kegiatan positif dalam rangka mengejar mimpi itu.

Optimisme bahwa mimpi itu akan tercapai adalah energi yang menjauhkan mereka dari kenakalan. Kebanggaan atas setiap pencapaian akan menjauhkan mereka pada kebanggan atas kenakalan.

Tidak hanya itu. Lingkungan sosial juga harus peduli, tidak masak bodoh terhadap keberadaan mereka.

Sikap apatis yang membiarkan mereka karena tiadanya hubungan pribadi dengan mereka adalah salah satu media untuk berkembangnya sikap-sikap negatif mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com