Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/08/2016, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pada bulan kemerdekaan seperti sekarang, saya ingin mengajukan pertanyaan: "Dapatkah kita membayangkan kemerdekaan tanpa buku?"

Mari kita menelisik peran para perintis yang menyiapkan fondasi kebangsaan kita.

Dimulai sejak akhir abad 19, satu per satu bermunculan tokoh-tokoh yang awalnya hanya memikirkan cikal bakal Indonesia hingga akhirnya mewujud menjadi Indonesia Merdeka.

Dari RA Kartini dan Abdoel Rivai hingga Raden Mas Tirtoadisoerjo di pergantian abad 19 ke abad 20. Berlanjut ke Dr Wahidin, Douwes Dekker, Agus Salim hingga Cokroaminoto ke generasi Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, hingga ke angkatan berikutnya seperti Bung Sjahrir, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, sampai angkatan muda yang melahirkan peristwa Rengasdengklok. 

Mereka memikirkan dan mencita-citakan Indonesia yang Merdeka karena setidaknya dua alasan.

Pertama, faktor pengalaman. Penjajahan, bagi generasi mereka, adalah pengalaman konkret sehari-hari, yang pedih dan perihnya terasa hingga ke kulitnya sendiri.

Kedua, faktor pengetahuan. Dari pengalaman konkret itu, mereka mempertajam dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan.

Melalui bahan bacaan, mereka mengetahui rekan-rekannya di negara-negara lain -- seperti di Filipina, Tiongkok, India dan Turki-- juga sedang giat-giatnya melawan penjajahan.

Melalui bahan bacaan pula, mereka menyadari bahwa kolonialisme tak dapat diterima oleh kemanusiaan, sehingga perlawanan kepada penjajahan adalah keharusan bagi mereka yang tercerahkan.

Menikam kolonialisme

Mereka semua umumnya membaca Max Havelaar, novel abad-19 karangan Multatuli yang disebut Pramoedya Ananta Toer sebagai buku yang menikam kolonialisme.

Mereka membaca karya-karya besar dari berbagai belahan dunia. Dari buku-buku biografi negarawan dan politikus, buku-buku teori filsafat, ekonomi dan politik, hingga karya-karya sastra klasik.

Para perintis kemerdekaan Indonesia adalah orang-orang dengan pikiran yang terbuka, yang matanya memandang jauh ke ujung cakrawala, yang isi kepalanya penuh dengan ide-ide besar yang datang dari berbagai penjuru dunia.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN Kacamata Bung Hatta yang disimpan di rumah bekas pengasingan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia itu di Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Kacamata itu menjadi ciri khas Bung Hatta sehingga ia lebih populer dengan panggilan Oom kacamata.
Simaklah pledoi "Indonesia Menggugat" yang dibacakan Bung Karno di pengadilan kolonial di Bandung atau pledoi "Indonesian Vrij" yang dibacakan Bung Hatta di Den Haag.

Baca juga surat-surat yang dikirim Bung Sjahrir dari pengasingan di Digoel atau catatan-catatan Tan Malaka dari berbagai negara kala berusaha meloloskan diri dari kejaran intel-intel kolonial.

Perhatikan risalah Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda maupun risalah sidang BPUPKI yang membicarakan rancangan dasar negara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com