Laki-laki itu rasional, sedangkan perempuan lebih emosional. Itu kesimpulan umum yang dianut banyak orang. Tapi tidak sedikit pula yang membantahnya.
Tidak sedikit perempuan yang keberatan disebut emosional, karena ia merasa rasional. Tapi benarkah kesimpulan ini? Apakah ini fakta sains atau sekedar stereotype belaka?
Peneliti Institut Universitaire En Santé Mentale de Montréal melakukan pengujian. Pada penelitian terdahulu mereka menemukan terdapat perbedaan reaksi pada limbic system, pusat emosi dan memori, antara laki-laki dan perempuan.
Dalam penelitian lanjutan, 46 responden, laki-laki 21 orang dan perempuan 25 orang disuruh melihat gambar-gambar emosional, dan aktivitas otak mereka diamati melalui kadar hormon testosterone dan estrogen, serta direkam dengan fMRI.
Secara keseluruhan disimpulkan bahwa perempuan lebih reaktif terhadap gambar-gambar emosional. Ukurannya adalah kadar testosteron dan estrogen tadi. Kadar testosteron yang tinggi menunjukkan rendahnya sensitivitas emosi, sedangkan tingginya estrogen menunjukkan tingginya sensitivitas emosi.
Dalam pengamatan melalui fMRI peneliti melihat bahwa dorsomedial prefrontal cortex (dmPFC) dan amygdala bereaksi pada perempuan dan laki-laki yang melihat gambar emosional tadi. Namun pada laki-laki, terjadi interaksi yang lebih kuat antara kedua bagian otak tadi, sehingga terjadi penurunan rangsangan emosional.
Amygdala diketahui sebagai bagian otak yang mendeteksi ancaman, biasanya bereaksi terhadap rangsangan emosional. Sementara dmPFC bekerja dalam interaksi sosial, mengelola persepsi, emosi, dan nalar.
Interaksi yang kuat antara dmPFC dengan amuygdala pada laki-laki menunjukkan bahwa mereka lebih rasional dalam mengelola emosi.
Apakah ini satu-satunya kesimpulan riset? Bukan. Ada penelitian lain yang dilakukan oleh MindLab, kesimpulannya, laki-laki ternyata lebih kuat reaksinya terhadap rangsangan emosional ketimbang perempuan.
Tapi kenapa hasil kedua penelitian ini saling bertabrakan? Sebenarnya tidak begitu. Peneliti dari Montreal tadi menjelaskan bahwa terjadi interaksi kuat antara bagian otak yang mengelola emosi dan nalar pada laki-laki. Artinya, terjadi proses peredaman emosi dalam otak.
Hal itu pulalah yang dihasilkan oleh peneliti di MindLab. Menurut mereka, laki-laki lebih emosional, namun terlatih untuk meredamnya. Ini hasil tempaan sosial, yang menuntut laki-laki terlihat lebih rasional.
Hasil penelitian di atas menarik dalam konteks pengelolaan pikiran. Otak kita sebenarnya mirip dengan otot, dalam arti ia dapat dilatih.
Otot pada bagian tubuh tertentu akan membesar atau mengeras bila sering dipakai, atau dilatih. Demikian pula otak.
Secara garis besar otak bisa kita bagi dua, yaitu bagian pengelola emosi dan pengelola nalar. Bagian yang paling sering dipakai akan menjadi lebih kuat.
Banyak perempuan yang “menyerah pada takdir” bahwa mereka adalah makhluk emosional. Bahkan tidak sedikit pula yang menikmati privilege atau perlakuan istimewa karena mereka emosional. Mereka merasa sah untuk menjadi sangat sensitif, dan menuntut laki-laki untuk menjaga perasaan mereka.