Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Menjadi Perempuan Rasional

Kompas.com - 13/01/2017, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Tapi bisakah perempuan menurunkan kadar sensitivitas emosinya? Bisa. Bahkan sebenarnya tidak hanya bisa, tapi harus.

Peneliti di  Montreal tadi sebenarnya sedang meneliti perbedaan kerentanan psikis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dua kali lebih berisiko terhadap depresi dan keterasingan dibanding laki-laki. Artinya, sikap kita dalam pengendalian emosi akan mempengaruhi kesehatan mental.

Bagaimana cara menjadi lebih rasional, khususnya bagi perempuan? Pertama adalah dengan membuang streotype tadi. Tinggalkan keyakinan bahwa Anda ditakdirkan sebagai makhluk emosional, mulailah meyakini bahwa Anda adalah pengendali emosi Anda sendiri.

Jangan manjakan diri Anda dengan sugesti “aku kan perempuan”, yang memberi Anda pembenaran untuk terus menjadi emosional.

Langkah berikutnya adalah soal interaksi sosial. Saya selalu mengingatkan semua orang untuk menjadi pengendali pikirannya sendiri. You are the owner of your mind. Bagaimana kita berpikir dan bereaksi terhadap sesuatu, sepenuhnya di bawah kendali kita sendiri. Itu yang disebut sikap proaktif.

Jadi, langkah keduanya adalah membangun keyakinan bahwa kita adalah pengendali pikiran kita sendiri.

Praktisnya bagaimana? Bayangkan ada seorang perempuan yang dimaki dengan sebutan “pelacur”. Normalnya perempuan akan marah dengan makian itu.

Kembali ke pola lama, ia akan marah dan berkata,”Wajar dong kalau aku marah. Siapa juga yang nggak marah dikatain begitu.”

Ini adalah sugesti bahwa ia berhak marah, dan setiap orang pasti marah. Padahal tidak demikian. Ia bisa memilih untuk marah atau tidak marah.

Aneh? Tidak. Reaksi marah itu adalah reaksi emosional. Itu biasanya reflek. Dalam konteks kerja otak, itu adalah aktivitas di amygdala tadi.

Ketika reaksi itu terjadi, orang mensugesti dirinya dengan keyakinan bahwa ia berhak marah, dan semua orang pasti marah bila disebut pelacur. Maka ia sedang melipat gandakan aktivitas amygdala dalam otaknya. Maka kadar emosinya akan makin meningkat, dan bisa saja jadi tak terkendali.

Pilihan lain adalah mengabaikannya. Sebutan itu tidak benar-benar membuat seorang perempuan jadi pelacur, bukan? Jadi, tidak masalah disebut seperti itu. Dengan cara ini Anda mengaktifkan interaksi antara amygdala dengan dmPFC tadi.

Sensitifitas Anda terhadap stimulus emosi akan diturunkan. Perhatikan bahwa ini bisa dilakukan oleh siapa saja, laki-laki maupun perempuan.

Mengapa latihan ini penting? Ingat, siapa yang mengendalikan diri Anda? Bila Anda marah setiap kali ada yang mengatai Anda, itu sama seperti Anda menyerahkan remote control emosi Anda ke orang lain.

Bagaimana membuat Si X marah? Gampang, cukup sebut dia pelacur. Anda sudah di bawah kendali orang lain. Itu baru satu kata kunci. Anda akan bereaksi yang sama terhadap kata kunci lain seperti sundal, matre, murahan, ganjen, dan seterusnya.

Kalau Anda selalu bereaksi negatif, artinya ada orang-orang yang pegang remote control yang penuh dengan tombol yang bisa membuat Anda depresi. Maka Anda harus rebut remote control itu.

Tapi apakah itu berarti kita diam saja diperlakukan tidak adil? Bukan begitu. Anda boleh  bertindak. Tapi kendali atas pilihan tindakan itu ada di tangan Anda. Itu bukan produk spontan yang dipicu oleh emosi Anda.

Anda bisa berhitung secara rasional, tindakan apa yang akan Anda ambil. Hitung, tindakan apa yang efektif untuk menghentikan gangguan. Eksekusi tindakan itu secara rasional, bukan emosional.

Ingat, jadilah pemegang remote control diri Anda, aktifkan selalu komunikasi antara nalar dan emosi. Ini sebenarnya berlaku bagi siapa saja, tidak tergantung apa jenis kelaminnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com