KATA wakalah mendadak mencuat di pemberitaan sepekan terakhir. Ini bermula dari pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin tentang akad calon jemaah saat membayar ongkos haji ke kementeriannya adalah wakalah.
(Baca juga: Menag: Dana Haji Boleh untuk Investasi Infrastruktur Selama Sesuai Syariah)
Pernyataan Lukman tersebut antara lain merespons sejumlah reaksi atas pernyataan Presiden Joko Widodo tentang rencana pemanfaatan dana haji untuk proyek infrastruktur.
(Baca juga: Jokowi Ingin Dana Haji Diinvestasikan untuk Infrastruktur)
Lalu, apa pendapat ulama soal terminologi ini? Apa pula payung hukum positif dalam hierarki peraturan perundangan soal pengelolaan dana haji?
"(Secara bahasa) wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat," tulis Yudistia Teguh Al Fikri, dalam artikel berjudul “Wakalah” di jurnal ekonomi Islam yang dipublikasikan lewat situs web www.academia.edu.
Di situ, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati tersebut menguraikan dasar dari akad ini. Dia uraikan juga rukun—hal-hal yang wajib ada untuk sahnya akad—bersama rincian syarat pemberi dan penerima kuasa serta hal-hal yang dapat diwakilkan.
Adapun untuk hal-hal yang dapat membatalkan akad wakalah, Teguh merujuk tulisan Helmi Karim dalam buku Fiqih Mualamat, yaitu:
Teguh menuliskan pula, akad wakalah dinyatakan berakhir bila seorang wakil atau yang mewakili sudah menyelesaikan tugas dari pemberi kuasa (muwakil) yang mewakilkan, atau amanat yang diberikan muwakil kepada wakil telah disampaikan kepada penerima amanat.
Selain itu, Teguh menjelaskan ada tiga kategori wakalah. Ketiganya adalah:
Namun, seperti banyak kajian lain yang beredar, kajian Teguh kemudian banyak berlanjut ke praktik penerapan wakalah di perbankan syariah. Pembahasan wakalah dan kaitannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan dana haji bisa dibilang masih terbatas.
Pendapat para ulama
Informasi yang disampaikan Teguh dalam tulisan jurnalnya tersebut secara prinsip sejalan dengan fatwa para ulama, baik dari hasil ijtima maupun fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam penelusuran Kompas.com, DSN MUI telah mengeluarkan setidaknya empat fatwa terkait akad wakalah. Fatwa pertama terbit pada 2000, yaitu Fatwa DSN Nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah. Namun, isi fatwa yang dilansir pada 1 April 2000 ini lebih ditujukan bagi lembaga keuangan syariah.
Penetapan pertama fatwa tersebut mengatur soal ketentuan wakalah, yaitu:
Lalu, ada fatwa keluaran 2006 yang secara khusus membahas soal asuransi dan reasuransi syariah, yaitu Fatwa DSN Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah.
Berikutnya ada fatwa yang mulai ada kaitannya dengan pemanfaatan dana haji sejak 2009, yaitu Fatwa DSN Nomor 95/DSN-MUI/VII/2014 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Syariah.