KOMPAS.com – Mulai kentang, mangga, belimbing, asam jawa, hingga akhirnya pada kedondong pagar-lah Naufal Raziq menyempurnakan temuannya. Remaja asal Langsa, Aceh, itu berhasil mengubah kandungan asam pada pohon tersebut menjadi energi listrik.
Inovasinya itu bermula saat ia duduk di bangku sekolah dasar pada 2004 lalu. Sebuah tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) memandunya bereksperimen untuk menghasilkan energi listrik dengan cara sederhana, yakni mengubah kandungan asam pada kentang.
Remaja yang kini berusia 16 tahun itu menyadari, bahwa semakin tinggi kadar asam yang dikandung sumber listrik tersebut maka semakin kuat tegangan dihasilkan.
Percobaan demi percobaan terus dilanjutkan hingga ia menemukan media yang paling tepat, yakni spodias pinatta alias pohon kedondong pagar. Dengan memanfaatkan empat buah pohon kedondong, Naufal mendapat energi listrik yang bisa menyalakan sebuah lampu.
Diberitakan Tribunnews, Jumat (19/5/2017), temuan yang telah dipatenkan pada 2017 lalu itu kemudian menarik minat Pemerintah. Bekerja sama dengan PT Pertamina EP, kini listrik kedondong Naufal telah mampu menerangi 20 rumah di kampung halamannya, di Desa Tampur Paloh, Aceh Timur, yang memang belum sepenuhnya dialiri listrik.
Pelajar lainnya yang juga patut diapresiasi adalah Octaviana Galuh Pratiwi dan Shella Vidya Ayu. Keduanya merupakan siswa dari SMA Negeri 2 Lamongan Jawa Timur yang meraih medali emas dalam ajang Indonesia Science Project Olimpiad (ISPO) untuk bidang teknologi pada 2017 lalu.
Pada ajang tersebut, seperti dikutip dari Tribunnews, Kamis (9/3/2017), Galuh dan Shella memamerkan temuan mereka berupa tisu ramah lingkungan. Tisu ini berbahan dasar ampas nenas dan dikombinasikan dengan buah busuk, air, dan gula.
Campuran tersebut akan menghasilkan selulosa bakteri Acetobacter xylinum yang kemudian dijadikan bahan baku tisu. Ini menggantikan bahan baku tisu pada umumnya, yakni selulosa tumbuhan.
Kedua contoh di atas telah membuktikan bahwa pelajar Indonesia sesungguhnya begitu inovatif dalam memecahkan masalah yang mereka lihat sehari-hari.
Temuan listrik kedondong milik Naufal adalah solusi atas kegelisahannya terhadap kampung halamannya yang masih juga gelap gulita. Dengan bantuan pohon kedondong yang memang banyak tumbuh di daerah tersebut, Naufal berhasil menyalakan pelita.
Begitu pula dengan Galuh dan Shella. Gundulnya hutan pinus akibat pemanfaatan komersial, salah satunya sebagai bahan pembuatan tisu, merisaukan hati mereka. Dari situlah lahir tisu ramah lingkungan yang justru memanfaatkan bahan-bahan yang dianggap sudah tidak ada gunanya.
Minat masih rendah
Kenyataan ini juga menguatkan bahwa pelajar Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang sains dan teknologi. Meski begitu, harus diakui bahwa pencapaian pendidikan sains dan teknologi Indonesia masih terbilang rendah.
Hal ini didasarkan pada riset dari Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 lalu. PISA merupakan sistem ujian yang diiniasi oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia.
Riset tiga tahunan ini mencakup kompetensi membaca, matematika, dan sains. Untuk bidang sains, Indonesia berada pada peringkat 64 dari 72 negara itu.
Rendahnya pencapaian pendidikan di bidang sains dan teknologi tentu bukan tanpa sebab. Salah satu alasan yang paling mudah terlihat adalah sedikitnya minat pelajar Indonesia terhadap bidang eksakta.
Sejak di bangku sekolah dasar, sains dan matematika telah menjadi momok yang menakutkan bagi pelajar. Stigma negatif bahwa pelajaran ini susah dan memusingkan terus terbangun. Bahkan, hingga jenjang perguruan tinggi.
Menurut rilis dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemristek dan Dikti, pada Maret 2016 ada lebih dari 5 juta mahasiswa. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 1,5 juta yang mengambil jurusan sains-teknik. Sisanya lebih tertarik untuk menggeluti bidang sosial-humaniora.
Bukan hanya soal itu, PISA rupanya menemukan bahwa sekolah juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap capaian nilai sains siswanya.
Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, harus bisa memberikan sistem belajar yang tepat kepada peserta didik. Sistem yang mampu membuat kegiatan belajar dan mengajar (KBN) mata pelajaran apa pun, termasuk sains, jadi interaktif dan menyenangkan.
Masalahnya, saat ini masih banyak sekolah di dalam negeri yang menggunakan metode konvensional dalam proses KBN. Metode yang menjadikan guru sebagai center of learning dan membuat anak menjadi pasif.
Di tengah tantangan seperti itu, hadirlah kelas berbasis teknologi. Kelas bernama Samsung Smart Learning Class (SSLC) ini memanfaatkan tablet yang sudah terkoneksi internet sebagai media belajar, sedangkan guru berperan penting untuk memastikan teknologi tersebut digunakan secara sehat dan tepat.
Nah, pengajaran yang interaktif ditambah media pembelajaran yang berbasis teknologi ini niscaya akan mendorong minat belajar siswa pada bidang sains.
Hasilnya, bukan sekadar peringkat PISA yang meningkat, tentu juga akan semakin banyak generasi muda inovatif seperti halnya Naufal, Galuh, dan Shella di kemudian hari.