KOMPAS.com - Gemah ripah loh jinawi atau kekayaan alam yang berlimpah. Ungkapan dalam bahasa Jawa ini dahulu sering dipakai untuk menggambarkan keadaan alam Indonesia yang subur.
Bagaimana dengan kini? Kementerian Pertanian mengatakan kalau Indonesia sudah berhasil swasembada pangan pada empat komoditas strategis pangan, yaitu beras, bawang merah, jagung, dan cabai.
Namun, keberhasilan tersebut belum berkolerasi ke pembangunan nasional. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan dalam kurun waktu 1990-2016, nilai produk domestik bruto (PDB) pertanian turun dari 22,09 persen menjadi 13,45 persen.
Tingkat kesejahteraan petani juga begitu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai tukar petani (NTP) pada 2012 sebesar 105,24 persen, turun menjadi 101,64 persen pada 2016.
NTP adalah indikator kesejahteraan petani yang diperoleh dari perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran petani. Angka 100 adalah impas, di bawah 100 berarti petani rugi.
Penurunan NTP terjadi karena indeks harga yang diterima petani (It) turun, sedangkan indeks harga yang dibayar petani (lb) naik. Menurut BI, seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (30/3/2017), penurunan PDB pertanian dan NTP tak lepas dari tiga masalah besar, yakni produksi, distribusi, dan disparitas harga yang tinggi.
Masalah produksi terkait kapasitas, produktivitas dan insentif petani, serta data yang tidak akurat sehingga menimbulkan masalah dalam kebijakan impor.
Adapun permasalahan distribusi adalah panjangnya tata niaga, sedangkan disparitas harga terjadi akibat pembentukan harga oleh beberapa pelaku pasar yang menguasai struktur pasar produk pertanian.
"Harga beras di pasar Rp 11.000 per kilogram (kg), di petani hanya Rp 6.000 per kg. Sebagian besar keuntungan diambil pedagang perantara atau tengkulak," kata Agus Eko Cahyono, petani padi yang juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah, seperti ditulis Kompas, Minggu (14/1/2018).
Teknologi untuk solusi
Permasalahan disparitas harga ini menjadi perhatian, salah satunya dari Lisa Wulandari. Ia bersama dua temannya membuat perusahaan rintisan atau startup bernama Limakilo. Ini merupakan platform berupa situs dan aplikasi mobile phone untuk membeli produk pertanian langsung dari petani.
Dinamakan Limakilo karena paket yang dijual ke konsumen sekitar lima kilogram. Platform ini kemudian mengumpulkan semua order tersebut sampai satu ton, baru setelah itu pembelian dilakukan langsung ke petani.
Selain melalui situs dan aplikasi Limakilo, Lisa mengatakan, konsumen juga bisa membeli produk fresh petani langsung di Tokopedia dan Shopee. Ini karena Limakilo sudah menjadi patner dari kedua e-commerce tersebut.
Total hingga saat ini tercatat sudah 860 petani yang bekerja sama dengan Limakilo. Tak cuma langsung ke konsumen, Limakilo juga sedang fokus melakukan pemasaran ke tukang-tukang sayur, yang menurutnya merupakan rantai distribusi terbawah. Pasalnya, total nilai transaksi yang dicapai satu tukang sayur bisa mencapai Rp 5 juta per hari.
"Sekitar tiga bulan ini kita sudah bekerja sama dengan mereka dan sudah punya kios patner Limakilo sebanyak 854 unit di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi," ucap Lisa.
Visi besar untuk bisnis rintisan
Selain di bidang pertanian, masih banyak masalah lain di negeri ini yang bisa menjadi peluang bisnis untuk perusahaan startup.
Managing Director Kejora Ventures—perusahaan pendanaan modal untuk startup—Andy Zain mengatakan, permasalahan di bidang edukasi, asuransi, properti, dan peminjaman modal adalah beberapa contohnya.
"Indonesia adalah pasar yang sangat menarik karena pasarnya besar 225 juta jiwa. Penduduk produktifnya lebih dari 50 persen usianya di bawah 30 tahun. Growth income-nya juga naik banget," ujar Andy, Kamis (3/5/2018).
Nah, untuk menjawab tantangan itu, para pelaku bisnis startup pun tak hanya cukup punya keahlian digital, tetapi juga memiliki kemampuan manajemen dan pemasaran.
Andy menegaskan pula kalau mereka harus belajar cepat karena pertumbuhan industri startup nasional begitu cepat. Caranya dengan langsung praktik membuat startup sehingga bisa mengetahui langsung kekurangan dari perusahaan rintisan yang didirikan.
“Ketika baru memulai bisnisnya, founder-founder startup pun gagal berkali-kali dan memperbaikinya sehingga sukses seperti sekarang ini,” ucap dia.
Andy kemudian mencontohkan program Magister Manajemen New Ventures Innovation (NVI) di Universitas Prasetiya Mulya yang baru diperkenalkan ke publik pada Kamis (3/5/2018). Program untuk entrepreneur yang ingin meningkatkan atau memulai usaha di perusahaan rintisan ini bisa menjadi sarana uji coba dalam membangun bisnis startup.
“Dalam NVI sendiri mahasiswa tidak hanya dididik melalui pendekatan akademik dan praktis, tetapi juga didukung oleh satu wadah ekosistem entrepreneur sehingga diharapkan bisa membuat startup dan mengembangkan bisnisnya,” kata Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya, Agus W Soehadi, Kamis.
Dengan begitu, akan ada banyak startup yang mampu mengatasi permasalahan di Indonesia, sama seperti Limakilo yang bisa memotong mata rantai distribusi komoditas pangan dari petani ke konsumen.