Kompas.com - 11/07/2018, 09:23 WIB
Mikhael Gewati,
Dimas Wahyu

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penonton televisi era 1990-an tentu masih ingat dengan serial "Si Doel Anak Sekolahan". Ceritanya mengenai perjuangan Babe Sabeni (Benyamin Sueb) menyekolahkan Doel (Rano Karno), anaknya, ke perguruan tinggi agar jadi insinyur.

Profesi itu tentu jauh lebih baik dari Sabeni yang hanya sopir angkutan umum opelet. Sabeni pun senang dan bangga luar biasa setelah putra semata wayangnya lulus kuliah.

Namun ternyata, bekal ijazah perguruan tinggi yang Doel terima tak bisa mengantarnya langsung bekerja. Dia harus menganggur terlebih dahulu walau sudah melamar pekerjaan ke banyak perusahaan.

Meski kisah itu hanya cerita dalam sebuah film, di dalam dunia nyata masalah yang dihadapi Doel dialami banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka galau karena terpaksa harus nganggur setelah lulus kuliah.

Seperti diberitakan Antara, Minggu (25/3/2018), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat dari total 7 juta orang yang menganggur di Indonesia, sebanyak 8,8 persennya atau berkisar 630.000 orang adalah lulusan sarjana (S-1). Kok bisa?

Studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkapkan, susahnya lulusan perguruan tinggi nasional terserap di dunia kerja terjadi karena adanya ketimpangan antara profil lulusan universitas dan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan perusahaan.

Berdasarkan studi tersebut, di era digital saat ini, selain punya digital skills, lulusan perguruan tinggi harus punya agile thinking ability atau mampu berpikir dengan banyak skenario, kemudian punya interpersonal and communication skills atau keahlian berkomunikasi serta global skills.

Kemampuan global skills meliputi kecakapan bahasa asing, bisa padu dan menyatu dengan orang asing yang berbeda budaya, serta punya sensitivitas terhadap nilai budaya.

Maka dari itu, selain giat belajar selama proses perkuliahan, mahasiswa harus pula melatih atau mengasah soft skills yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Salah satu caranya dengan aktif dalam organisasi kemahasiswaan di kampus.

Di sana, mereka bisa belajar berorganisasi sehingga secara tidak langsung dapat mengasah berbagai skill, seperti keterampilan personal dan manajerial, kemampuan komunikasi, dan negosiasi.

Tak hanya itu, mereka dapat pula memperluas jaringan atau relasi pertemanan. Ini akan jadi sangat bermanfaat bagi mereka setelah lulus dan ingin memulai kerja. Siapa tahu saja dari relasi tersebut mereka bisa mendapat pekerjaan.

Wirausaha

Selain aktif berorganisasi, mahasiswa juga bisa mulai belajar berwirausaha di kampus. Mengapa wirausaha? Gap antara lapangan kerja yang tersedia dan pencari kerja di negeri ini yang tidak seimbang adalah jawabannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, jumlah pencari kerja yang terdaftar sebesar 1.440.428 orang, sementara lowongan kerja yang terdaftar hanya 900.671 posisi. Dari jumlah tersebut, hanya 742.177 orang yang mendapatkan pekerjaan.

Dengan demikian, berwirausaha adalah alternatif bagi mahasiswa supaya tidak menganggur setelah lulus kuliah. Malah bila nanti usahanya sukses, mereka bisa membuka lapangan kerja sehingga turut mengurangi angka pengangguran.

Untuk itu, lingkungan kampus pun harus mendukung ekosistem bisnis buat mahasiswa. Ini artinya mahasiswa sudah diperkenalkan dengan dunia bisnis sejak awal kuliah.

Salah satu kampus yang sudah mempunyai ekosistem bisnis yang baik adalah Universitas Prasetiya Mulya. Di sini, mahasiswa diberi ruang untuk mempraktikkan langsung ilmu bisnis yang sudah dipelajarinya melalui berbagai ajang pameran yang diadakan di kampus.

Prasetiya Mulya Entrepreneur Day 2018Dok Prasetiya Mulya (www.ceritaprasmul.com) Prasetiya Mulya Entrepreneur Day 2018
Sementara itu, untuk membangun relasi atau networking, mahasiswa bisa mengikuti program magang di perusahaan yang sudah bisa mereka ikuti sejak tahun pertama kuliah.

Adapun untuk menghadapi perubahan bisnis di era digitalisasi, lembaga pendidikan ini punya program yang bisa memfasilitasi pertemuan antara investor dan pelaku bisnis berbasis teknologi digital dengan mahasiswa.

Agus W Soehadi, Dekan Sekolah Bisnis dan Ekonomi Prasetiya Mulya mengatakan, program tersebut menjadi penting bagi perkuliahan karena perubahan teknologi digital telah berdampak terhadap peningkatan konektivitas dari aktor-aktor yang terlibat dalam ekosistem usaha.

“Karena itu, apa yang kami kembangkan di Prasetiya Mulya adalah menyediakan aktor-aktor (investor atau pelaku bisnis digital) baik dari pihak internal maupun eksternal kampus, yang secara sinergi dihubungkan untuk mendukung ekosistem bisnis yang utuh,” kata Agus W Soehadi.

Dengan demikian, selain bisa membangun relasi lebih luas, mahasiswa dapat pula tahu tentang seluk beluk industri dan bisnis berbasis digital serta kebutuhan akan tenaga kerjanya.

Jadi, harapannya ketika lulus nanti mereka sudah punya soft skills yang dibutuhkan industri dan punya kemampuan berwirausaha. Lebih jauh, peluang menjadi penganggur ketika lulus kuliah nanti bisa diminimalkan.

Nah, bagi siswa-siswi sekolah menegah atas (SMA) yang ingin melanjutkan pendidikan di sana pada 2019, pendaftaran sudah bisa dilakukan untuk gelombang pertama Agustus 2018.

Selamat mencoba!

Baca tentang

komentar di artikel lainnya
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com