KOMPAS.com - Kita memang harus terkejut melihat kemampuan siswa Indonesia dalam matematika, sains dan membaca sangat rendah. Itu adalah fakta terbaru berdasarkan hasil survei Indonesia National Assesment Program (INAP) yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Kemendikbud.
Namun, baru juga usai menyaksikan fakta itu, kita sudah disodori lagi dengan ditangkapnya Bupati Cianjur dengan barang bukti Rp 1,5 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca: Korupsi Dana Pendidikan Diduga Sudah Sejak Bupati Cianjur Periode Sebelumnya
Menurut KPK uang sebesar itu diserahkan kepada sang bupati sebagai sogokan dari anasir MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) yang semua guru memahami, adalah organisasi para Kasek (kepala sekolah), semacam KKG (Kelompok Kerja Guru) untuk Guru Kelas SD dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) untuk Guru Mata Pelajaran.
Dus, terang benderang terlihat, bahwa kepala sekolah melalui kelompok musyawarahnya menyogok bupati.
Kepala sekolah adalah Guru yang diberi tugas tambahan sehingga pada dasarnya mereka adalah guru. Lalu, saat jabatan sebagai kepala sekolah itu usai, mereka akan kembali mengajar sesuai aturan.
Oleh sebab itu, kepala sekolah juga memperoleh uang Tunjangan Profesional Pendidik (TPP) alias "uang sertifikasi". Maka, gaji plus TPP dan tunjangan kepala sekolah mestinya mencukupi untuk hidup sebagai guru bersahaja.
Kepala sekolah itu jabatan mentereng, terutama di sekolah favorit. Bahkan, seringkali jabatan ini menjadi rebutan, seperti sekolahnya yang menjadi rebutan orangtua murid.
Tetapi, sekolah favorit itu ibarat BUMN favorit pula, yang tidak mudah bisa menjadi jajaran direksinya, apalagi dirutnya. Demikian pula di sekolah favorit, yang perlu "ongkos" untuk menjadi kepala sekolah di sana.
Tapi, meskipun mentereng, kepala sekolah lebih sengsara ketimbang seorang dirut BUMN yang seringkali bisa "berbagi wewenang" dengan direktur lain. Wewenang kepala sekolah jarang bisa didelegasikan kepada wakilnya.
Ya, kepala sekolah itulah penanggungjawab Anggaran Penerimaan dan Biaya Sekolah (APBS) yang di dalamnya berada dana BOS, BOSDA dan termasuk terpaksa berhutang kepada pemasok ketika dana tersebut belum cair dan berwenang mengatur "sistim pembayaran" agar tak melanggar SOP.
Kepala sekolah pula yang akan pasang badan ketika ada pemeriksaan BPK dan Irjen, "gangguan" LSM dan wartawan, kemarahan Pìengawas, Kadisdik hingga Gubernur/Walkot/Bupati, serta anggota Dewan.
Lantaran kondisi seperti itulah kepala sekolah perlu perlindungan atasan. Sebaliknya, perlindungan itu seringkali tidak gratis, apalagi ketika si kepala sekolah yang sebelum menjabat adalah guru penyelinap dalam anggota tim sukses gubernur, walikota atau bupati.
Maka, terjadilah simbiosis mutualisme di antara keduanya. Kelihatannya, kasus di Cianjur adalah jenis terakhir ini.
Tetapi, yang umum terjadi, kepala sekolah yang seorang guru senior ketika menjabat pada dasarnya, dipaksa sistem untuk mengikuti pakem yang tak mengikuti kaidah tata kelola sekolah yang baik atau "good school governance".