Oleh: Syaikhu Usman dan Heni Kurniasih
WALAU kualitas pembelajaran siswa di Indonesia masih rendah, jarang sekali wali murid melayangkan protes secara terbuka dan massal tentang masalah akut ini kepada guru, sekolah, pemerintah, dan parlemen.
Orangtua menjawab buruknya hasil pembelajaran dengan mendaftarkan anaknya les privat.
Kerap kali pemangku kepentingan pendidikan tingkat pusat, daerah, dan lingkungan sekolah (orangtua siswa dan guru) lebih bersemangat memperkuat pendidikan karakter di sekolah ketimbang meningkatkan kualitas pembelajaran.
Isu degradasi moral siswa di lingkup sekolah lebih dominan dibanding isu kualitas hasil pembelajaran.
Pertanyaan besarnya: bagaimana menyelaraskan kebijakan pendidikan dan pengajaran di Indonesia untuk meningkatkan mutu pembelajaran di tengah meningkatnya perhatian terhadap pendidikan karakter?
Beberapa tahun belakangan ini, marak publikasi tentang rendahnya hasil pembelajaran murid Indonesia.
Kajian terbaru Research on Improving Systems of Education (RISE) Indonesia 2018 memperlihatkan situasi darurat pembelajaran di Indonesia.
Sejumlah besar lulusan sekolah menengah atas (SMA) belum menguasai kemampuan berhitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian angka sederhana) yang seharusnya telah dikuasai saat di sekolah dasar. Penyebab utamanya adalah ketidaktuntasan pembelajaran.
Hasil riset ini mengonfirmasi publikasi tentang rendahnya posisi Indonesia dibanding negara lain dalam hasil tes Program for International Student Assessment (PISA) 2015, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2015 untuk matematika dan sains, dan Programme for International Assessment of Adult Competencies (PIAAC).
Hasil yang serupa dengan beberapa tes internasional tersebut ditunjukkan juga dalam Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2016 yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Orientasi kebijakan pendidikan sejak setengah abad lalu berfokus pada penyediaan akses bersekolah seluas-luasnya. Dimulai dari Program Inpres SD dan diikuti dengan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada 1984 dan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada 1994. Walau akses sekolah makin luas, mutu pembelajaran sampai sekarang masih rendah.
Publikasi gencar tentang mutu pembelajaran yang rendah tersebut belum cukup menggugah pemangku kepentingan pendidikan untuk menggugatnya, termasuk Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi pendidikan.
Ada 10 dari 47 anggota Komisi X yang mengisi profil mereka dalam bentuk kegiatan, galeri, atau agenda di website mereka. Lima di antaranya memperlihatkan ketertarikan pada isu pendidikan, tapi bukan tentang kualitas hasil pembelajaran.
Dalam sebuah studi di Nusa Tenggara Barat, kami menemukan ada pejabat daerah yang tidak melihat rendahnya mutu pembelajaran sebagai persoalan serius pendidikan.
"Urusan pendidikan sudah bisa berjalan sendiri," katanya. Maksudnya, sekolah berlangsung setiap hari, guru melaksanakan tugas dan murid masuk sekolah tanpa hambatan.
Persoalan penting bagi daerah ini adalah membangun pertanian dan irigasi, mengembangkan pariwisata dan usaha mikro, kecil, dan menengah.