Kita juga belum bisa berharap banyak dari masyarakat, khususnya orang tua murid untuk menggugat atas kenyataan rendahnya mutu pembelajaran anak mereka. Penyebabnya, menurut hasil survei yang dikutip dalam studi Blane Lewis (2010), peneliti Australian National University, 86 persen masyarakat Indonesia sudah merasa puas atas praktik layanan pendidikan.
Hanya 7 persen yang pernah memprotes jeleknya mutu pendidikan kepada pemerintah daerah, sekolah, dewan pendidikan, atau parlemen.
Alih-alih menuntut perbaikan mutu, orangtua yang mengetahui hasil pembelajaran anaknya rendah lebih memilih untuk membiayainya mengikuti bimbingan belajar privat.
Perhatian terhadap kualitas pembelajaran jauh lebih sedikit dibanding dengan perhatian terhadap pendidikan karakter.
Studi RISE Indonesia (2018) mengungkapkan tingginya perhatian pemangku kepentingan terhadap pendidikan karakter.
Diskusi intelektual dan wacana publik tentang pendidikan dibayangi isu degradasi moral siswa, dan lebih heboh dibanding diskusi soal rendahnya hasil pembelajaran murid.
Ketertarikan masyarakat terhadap pendidikan karakter umumnya dilatarbelakangi keprihatinan terhadap perilaku negatif anak muda, seperti tawuran dan bullying, pemakaian narkoba, lunturnya wawasan kebangsaan, dan pergaulan remaja yang menabrak norma agama.
Karena itu, banyak pengelola pendidikan yang kemudian terdorong melaksanakan pendidikan karakter dengan penekanan kuat pada dimensi moralitas, nasionalisme, dan religiusitas.
Indikasinya terlihat, misalnya, dalam pedoman pelaksanaan pendidikan karakter yang mengatur aktivitas religius sebelum memulai kegiatan kelas. Kabupaten Purwakarta mengeluarkan Buku Kontrol Siswa yang menjadikan praktik berdoa pagi dan membaca kitab suci sebagai salah satu pedoman bagi guru dan orang tua dalam menilai karakter anak.
Kecenderungan adanya upaya peningkatan pendidikan karakter juga terjadi di Bali.
Prioritas tinggi pemangku kepentingan pada dimensi moralitas, religiusitas, dan nasionalisme dalam pendidikan karakter berpotensi menggeser perhatian terhadap krisis mutu pendidikan.
Padahal, filosofi dasar kebijakan pendidikan karakter adalah tidak mendikotomikan unsur karakter dan unsur akademis.
Peraturan Presiden tentang Penguatan Pendidikan Karakter, juga Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kemendikbud, tidak memisahkan pengembangan intelektual dan karakter.
Penekanan yang terlalu kuat pada pendidikan karakter dikhawatirkan dapat memperlemah usaha dan investasi pemerintah dalam meningkatkan mutu pembelajaran.
Sayangnya, seperti temuan dalam studi RISE 2018, pendelegasian tugas dan kewenangan mulai dari negara kepada birokrat pemerintah pusat, diteruskan ke pemerintah daerah, lalu kepada kepala sekolah dan guru untuk menyelaraskan pendidikan karakter dan pengajaran akademis tidak koheren.
Akibatnya, pemangku kepentingan cenderung menafsirkan tugas dalam menjalankan pendidikan karakter menekankan aspek moralitas, religiusitas, dan nasionalisme.
Kata "karakter" memang penuh makna. Dalam bahasa agama, pengertiannya dekat dengan akhlak.
Pemangku kepentingan cenderung melaksanakan pendidikan karakter di luar kegiatan pengajaran akademis. Padahal, pada prinsipnya pendidikan karakter dapat memperkuat hasil pengajaran akademis melalui pengembangan karakter positif, seperti kerja keras, disiplin, jujur, rasa ingin tahu yang kuat, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, menghargai prestasi, demokratis, rasa ingin tahu, cinta Tanah Air, dan bertanggung jawab.
Lalu, bagaimana memperbaiki proses pembelajaran?
Slogan "Menumbuhkan Generasi Cerdas dan Berkarakter" yang dikeluarkan Kemendikbud menggarisbawahi pentingnya unsur intelektual dan karakter dalam satu kesatuan proses pembelajaran.