KOMPAS.com - Kain tenun menjadi salah satu warisan budaya Indonesia. Sayangnya, keberadaannya tidak sepopuler kain batik. Agar dapat diterima masyarakat, diperlukan adanya inovasi baik dari segi desain maupun pewarnaan.
Selain itu dibutuhkan pula inovasi dalam membantu peningkatan akses pasar kain tenun. Inovasi yang dilakukan tentunya harus tetap menjaga pakem budaya yang telah ditentukan.
Selama ini inovasi dilakukan secara tertutup dalam arti hanya penenun yang memodifikasi desain dan pewarnaan. Padahal agar dapat memenuhi selera pasar diperlukan kolaborasi antara penenun dan pelanggan yang dikenal dengan "open innovation" (inovasi terbuka).
Hali inilah kemudian mendasari kajian strategis yang dilakukan dosen Universitas Indonesia (UI) diketuai Fibria Indriati. Kajian ini telah berjalan selama setengah tahun, mulai dari pertengahan tahun 2018.
Baca juga: Jembatan Bahasa, Solusi Inovasi Pembelajaran di Tengah Bahasa Daerah
Febria melakukan kajian di beberapa wilayah dan melihat salah satu daerah di NTT berhasil dalam melakukan inovasi terbuka.
"Kami menemukan bahwa para penenun yang berada di Kabupaten Sikka, NTT telah melakukan inovasi terbuka dalam rangka meningkatkan akses pasar dan nilai ekonomis kain tenun," jelas Dosen Administrasi Niaga melalui rilis resmi UI (15/4/2019).
Ia menambahkan, "Model inovasi terbuka yang dilakukan adalahstrategi inovasi kolaboratif dan strategi Inovasi berbasis jejaring."
Strategi inovasi kolaboratif dilakukan para penenun dengan membentuk kolaborasi dengan beberapa lembaga yang memiliki banyak pengetahuan seperti rumah desain, universitas dan lembaga peneliti serta pemerintah.
Kolaboratif dilakukan terkait dengan desain dan teknik pewarnaan. Strategi ini mampu menghasilkan kain tenun dengan motif kontemporer yang memiliki nilai ekonomis yang dapat diterima secara luas, bukan hanya masyarakat NTT.
Dalam hal pewarnaan, teknik diterapkan selain pewarna alami, para penenun menggunakan pewarna kimia yang mempersingkat waktu penyelesaian kain tenun.
Selain itu juga kolaboratif strategi inovasi dilakukan dalam hal peralatan menenun, dimana bekerja sama dengan universitas, perusahaan dan lembaga pemerintah dalam penyediaan alat pemintal benang tenun.
Sedangan strategi inovasi berbasis jejaring juga dilakukan para ketua kelompok tenun dan penenun dengan menjalin jejaring baik dengan perorangan (desainer), komunitas tenun dan pencinta budaya baik yang berada di dalam negeri atau luar negeri.
Model "open innovation" telah terbukti dapat mempercepat proses pengerjaan kain tenun dan meningkatkan akses pasar karena kain tenun yang diproduksi dapat diterima masyarakat secara luas.
Namun muncul tantangan dari inovasi terbuka ini. Alfonsa Horeng, Ketua Kelompok Lepo Lerun Desa Nita, hal ini membuat inovasi tenun tidak memenuhi nilai adat yang telah diwariskan leluhur sehingga kain dihasilkan tidak memiliki nilai bagi masyarakat adat.
Hal ini juga ditegaskan Daniel David, Ketua Kelompok Tenun Na’ni House. Menurutnya, kain tenun dengan motif kontemporer dan pewarnaan kimia meski tidak memiliki nilai adat namun memiliki nilai ekonomis yang dapat membuka akses pasar bagi kain tenun dan penenun itu sendiri.
"Meskipun demikian, identitas kain tenun Sikka tidak boleh berubah. Oleh sebab itu dalam pengembangan kain tenun, meskipun motif dan pewarnaan dapat disesuaikan dengan keinginan pelanggan, tetapi harus tetap membawa ciri dari kain tenun Sikka dan tidak boleh dicampur adukkan," tegasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.