KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berusaha terus melakukan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Bersamaan dengan perkembangan teknologi, Kemendikbud mengembangkan program digitalisasi sekolah di Provinsi Papua yang dimulai di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Hal itu ditandai melalui kunjungan kerja Mendikbud Muhadjir Effendy ke sana pada pertengahan Oktober 2019 untuk memberikan bantuan berupa komputer tablet serta peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) agar para guru dan siswa lebih mudah mengakses berbagai sumber belajar digital.
Sehubungan dengan itu, ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam program digitalisasi sekolah. Pertama, yaitu pola pembelajarannya karena ini menyangkut cara belajar yang telah biasa dilakukan selama ini dan harus diubah dengan cara baru sesuai perkembangan zaman.
“Yang belum teradaptasi adalah pola pembelajarannya harus diatur lebih baik lagi supaya mereka (siswa di Papua) melihat digitalisasi sekolah sebagai sumber bahan pembelajaran alternatif yang bukan hanya dari guru dan buku, tapi sekarang lebih luas, bisa dari berbagai sumber,” ucap Staf Ahli Bidang Hubungan Pusat-Daerah Kemendikbud James Modouw saat ditemui Kompas.com, Senin (28/10/2019) di Jakarta.
Baca juga: Menguatkan Digitalisasi Sekolah di Natuna, Daerah Terluar Indonesia
Menurut dia, cara belajar anak-anak sekolah di Papua harus diperbarui lagi supaya semakin canggih dan kemampuan mereka lebih inovatif, kreatif, dan kritis.
Dengan begitu, diharapkan anak-anak itu bisa terus berkembang sebagai generasi yang memiliki kemampuan mencukupi untuk mengantisipasi era revolusi industri 4.0.
Faktor kedua yaitu menyangkut masalah teknis. Seperti diketahui, jaringan infrastruktur komunikasi di wilayah Papua belum sebagus di Pulau Jawa. Maka dari itu, harus dilakukan pengembangan di berbagai daerah di sana.
“Untuk daerah pinggiran dan terpencil, infrastruktur perlu dikembangkan lagi. Mungkin point to point transmitter yang harus dipasang, itu bisa membantu sekolah-sekolah yang terbelakang,” imbuh James.
Cara lain yang bisa diterapkan, lanjutnya, yaitu dengan menempatkan server offline di daerah itu. Namun, peralatan itu harus rajin diperiksa dan dipelihara oleh petugas. Tentunya akan cukup sulit karena antara lain menyangkut faktor geografis.
“Petugasnya harus rajin datang untuk update dan maintenance, itu kerja yang cukup rumit kalau pakai sistem offline. Kalau di pinggiran konsep caranya dengan point to point transmitter, tapi di daerah terpencil enggak bisa. Hanya ada dua cara, pakai Vsat yang mahal atau pakai server offline. Itu yang bisa dilakukan ke depan,” jelasnya.
Tentunya hal itu membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Namun, menurut James, seiring berjalannya waktu, diharapkan teknologi itu semakin murah dan kendala teknis bisa diatasi.
Dia pun menuntut perhatian dari pemerintah daerah (pemda) karena itu sudah menjadi tugas pemerintah setempat untuk menyediakan infrastruktur pendukung komunikasi di wilayahnya masing-masing.
Sebab, sesuai tugas pokok dan fungsi, pemda yang melakukan pembiayaan dan penyediaan jaringan, sedangkan sistem pembelajaran dan konten dikerjakan oleh Kemendikbud.
“Pemda harus memperhatikan ini, terutama menyiapkan BTS atau trasmitter sampai ke pinggiran atau daerah 3T. Jadi perlu investasi dari pemda. Kalau Kemendikbud untuk sistem pembelajaran dan kontennya,” pungkas James.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.