KOMPAS.com - Manhattan, Selasa 8 November 2016. Bersama dengan sahabat sekaligus mitra bisnis saya, kami mengamati beberapa channel berita di TV hotel sebelum akhirnya memutuskan untuk beredar di jalanan hingga ke Manhattan Selatan. Wall Street adalah tujuan kami.
Hari itu sangatlah istimewa: Pemilu Presiden Amerika!
Sehari sebelumnya kami baru kembali dari Boston setelah mengikuti program pengembangan professional (PDP) beberapa hari di salah satu kampus di Cambridge, MA. Sepanjang hari-hari pelatihan di kelas, sekitar empat-puluhan peserta iseng membahas siapa yang akan memenangkan kursi di Gedung Putih.
CNN, Fox, CNBC dan CBS bergantian menayangkan ‘breaking news’ seolah itu yang paling penting dimunculkan setiap setengah jam.
Layaknya El Classico, baik Donald Trump maupun Hillary Clinton bergantian naik rating-nya selama minggu-minggu terakhir masa kampanye. Seperti mayoritas peserta PDP di kelas kami, saya pun berharap – atau lebih tepatnya ‘yakin’ – bahwa Clinton akan memenangkan pertarungan itu.
Sim Salabim! Trump yang menang!
Saya hanya geleng-geleng kepala. Secara jumlah popular vote, Trump kalah jumlah dengan selisih hampir 3 juta voter dibanding Clinton. Namun sistem electoral vote telah memenangkan Trump (304) melawan Clinton (227). Baiklah, kita tak bisa berdebat soal sistem itu. Tapi, apa yang membuat Trump menang?
Nah ini yang menarik. Meski lebih banyak di unit pengembangan bisnis, untuk sekian lama saya ikut mengurusi pemasaran. Ada satu hal yang mungkin telah membangkitkan spirit nasionalisme Amerika, yakni tagline dalam kampanye Trump: Make Amerika Great Again. Oh, kata ‘Great’? Bukan. Tapi kata ‘Again’!
Di dalam bisnis, ‘again’ adalah tongkat sulap.
Mengingat dan mengulang suatu peristiwa (comemorate) adalah sentimentalisme manusia. Karena masuk ke lubuk sanubari, ia menjadi seperti candu, membuat ketagihan kepada masa lalu. Nah, orang-orang pemasaran sangat suka hal-hal seperti ini.
Ketika bertemu dengan beberapa pebisnis yang mengeluh kok sekarang bisnis susah, dulu gampang cuan, sekali tepok dapat tiga empat nyamuk (nah, benar kan, “duluuu”). Dan seperti biasa, yang disalahkan adalah seluruh dunia. Sentimental sekali!
Saya sangat kagum dengan para industrialis yang tak selalu mengimajinasikan masa depan, tetapi juga menghadirkan kembali nilai-nilai sentimental masa lalu yang abadi. Lebih dari satu dasa warsa ini, kita menjadi saksi segala sesuatu yang ‘retro’, bernuansa kilas balik ke masa lalu, yang tiba-tiba menjadi ‘in’ lagi.
Sepeda motor, mobil, desain interior rumah dan restauran, pakaian, juga fotografi, tiba-tiba secara visual membawa kembali kenangan sentimental kita di masa lalu. Dan kita menjadi terkesima.
Ternyata tak semua visual masa lalu bisa dengan mudah dipunahkan oleh waktu. Dan lagi-lagi, sentimentalisme ini dikapitalisasi dengan baik oleh para pebisnis dan industrialis.
“Apakah anda ingin tampak muda lagi?” begitu bunyi sebuah iklan yang terpampang di The SAX di pusat belanja San Fransisco. Siapa yang tak ingin tampak muda lagi? Rasa-rasanya mayoritas pembaca ingin tampak muda lagi.