BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dan Tanoto Foundation

Sadar Bahaya Polusi Udara di Ruangan, Mahasiswa Ini Ciptakan Papan Penyerap Polutan

Kompas.com - 28/11/2019, 17:20 WIB
Anissa Dea Widiarini,
Kurniasih Budi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Beberapa waktu belakangan ini masyarakat Indonesia sempat dibuat khawatir dengan isu buruknya kualitas udara luar ruangan di beberapa kota besar karena polusi udara.

Bahkan, Jakarta sempat memiliki nilai indeks kualitas udara (AQI) mencapai 240 yang masuk dalam kategori sangat tidak sehat, pada Kamis (25/7/2019) lalu.

Merujuk level AQI, kualitas udara baik berada di angka 0-50, udara sangat tidak sehat di angka 201-250 dan kategori berbahaya, yakni 251-300.

Namun, banyak yang tidak menyadari jika polusi di dalam ruangan memiliki bahaya yang sama dengan polusi di luar ruangan. Malah, menurut studi dari Environmental Protection Agency (EPA), level polutan di dalam ruangan 2-5 kali lebih tinggi dari polutan di luar ruangan.

Gawatnya, polutan-polutan dalam ruangan tersebut muncul dari berbagai sumber yang tidak disadari. Contohnya asap rokok. Polutan dalam asap rokok akan tetap berada di ruangan dan menempel di berbagai barang, meskipun asapnya telah hilang.

Mesin-mesin elektrik dan perabot rumah tangga, seperti televisi, pendingin udara, meja, kasur pun turut menyumbang emisi dengan kadar berbeda-beda.

Bahkan, ventilasi yang dianggap sebagai tempat pertukaran udara bersih pun menjadi tempat masuknya polusi dari luar ruangan.

Kekhawatiran akan bahaya polusi udara dalam ruangan itu kemudian menggerakkan Ainun Ade Putri (21), mahasiswi Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan untuk mencari solusinya.

Setelah melakukan riset awal, Ainun menemukan manfaat tanaman lidah mertua yang bisa dengan mudah ditemui. Menurutnya, sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa tanaman itu mampu menyerap polutan udara dan bisa menghasilkan oksigen saat malam hari.

Melansir Kompas.com, Selasa (23/7/2019), pada 1989 NASA merilis artikel yang mengungkapkan bahwa lidah mertua mampu menyerap lebih dari 107 unsur polutan berbahaya.

Akan tetapi, menurut Ainun, tidak semua ruangan bisa dan cocok menggunakan lidah mertua sebagai penyerap polutan udara.

Papan penyerap polutan

Untuk itu, dia mencoba berinovasi menciptakan alternatif penyerap polusi yang bisa diaplikasikan di ruangan apapun. Kebetulan, Ainun dan dosennya sudah lebih dahulu mengembangkan penelitian papan partikel dengan perekat alami yang biasa digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga.

“Kami latar belakangnya dari lab teknologi, khusus untuk bagian teknologi pengolahan kayu. Kami memang sedang fokus pada pengembangan kayu papan partikel, kayu lapis, dari kayu sengon,” cerita Ainun kepada Kompas.com, Rabu (27/11/2019).

Untuk diketahui, papan partikel adalah panel kayu yang terbuat dari campuran serbuk kayu dengan lem resin sintesis yang dikempa dengan alat hot press menjadi lembaran-lembaran keras dengan ketebalan tertentu.

Ainun kemudian mencoba menyemprot papan partikel tersebut dengan tanaman lidah mertua yang sudah diekstrak menjadi cairan. Papan itu, lalu diuji dengan cara dipaparkan asap rokok selama tiga jam dalam sebuah kotak kaca.

Papan yang telah terkena paparan asap rokok kemudian diuji dengan dua alat khusus. Hasilnya, papan dengan ekstrak lidah mertua itu mampu menyerap dan mengikat hingga 80 persen karbondioksida yang terkandung di dalam asap rokok.

Perempuan berkerudung itu menjelaskan, dia bersama timnya melakukan dua model pemberian ekstrak. Pertama, dengan mencampurkan ekstrak lidah mertua dengan serbuk kayu sebelum pengempaan. Kedua, menyemprotkan cairan ekstrak setelah serbuk kayu dikempa.

Papan partikel tanpa perekat penyerap polutan merupakan karya mahasiswa Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar Ainun Ade Putri bersama timnya. KOMPAS.com/ANISSA DEA WIDIARINI Papan partikel tanpa perekat penyerap polutan merupakan karya mahasiswa Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar Ainun Ade Putri bersama timnya.

Pengempaan merupakan proses mengempa (mengapit) serbuk kayu hingga padat dan membentuk lempengan kayu.

“Ternyata yang lebih potensial dan efektif itu pemberian cairan setelah pengempaan. Jadi, dia menempel di permukaan papannya,” terang Ainun saat acara Media Briefing Tanoto Student Research Award 2019, di Soehana Hall, Jakarta.

Menurut dia, penambahan ekstrak lidah mertua itu tidak akan menurunkan kualitas papan partikel itu sendiri. Selain itu, waktu pembuatannya pun relatif sama dengan papan partikel biasa karena pembuatan ekstraknya cukup mudah dan cepat.

“Papan ini juga enggak pakai perekat, yang bisa mengurangi emisi. Kualitasnya sama dan bisa lebih kuat karena menggunakan perekat alami. Bisa menggunakan semua kayu termasuk kayu limbah industri,” paparnya.

Kendala alat uji

Proses penelitian yang dilakukan Ainun itu bukan tanpa kendala. Dia bercerita, penelitiannya sempat terhambat selama tiga bulan karena tidak ada akses ke mesin uji guna membuktikan efektivitas penyerapan polusi di papan partikel tersebut.

Ainun mengungkapkan, penelitiannya melibatkan penggunaan dua alat uji, yakni Fourier-transform Infrared Spectroscopy (FTIR) dan Gas Cromatografy Mass Spectrometry (GCMS). 

Kampus Unhas, kata dia, memiliki dua alat uji tersebut. Ia mengaku hanya menggunakan FTIR untuk riset yang dilakukan.

GCMS yang dimiliki kampus hanya bisa menguji sampel dalam bentuk cairan, bukan padatan. Oleh karena itu, ia pun melakukan pengujian sampel ke Jakarta.

“Saya tahunya ada di IPB, tapi kebetulan alat di sana rusak. Jadi, mereka menyarankan ke pusat forensik Mabes Polri di Jakarta,” cerita Ainun.

Akan tetapi, masalah tidak berhenti di situ. Ainun dan timnya pun terkendala biaya penelitian yang tidak sedikit.

Beruntung, kampusnya merupakan mitra dari program Tanoto Student Research Award (TSRA) yang digagas Tanoto Foundation.

Karena dinilai bermanfaat dan membawa dampak positif bagi masyarakat, penelitian Ainun dan timnya kemudian mendapat bantuan dana dari TSRA. Dari situlah mereka kemudian bisa melakukan pengujian hingga selesai.

Menurut Head of Scholarship & Leadership Development Tanoto Foundation Aryanti Savitri, program TSRA memang dilaksanakan untuk menumbuhkan minat generasi muda berinovasi melalui penelitian terapan di kampusnya masing-masing.

Menurutnya, dalam program tersebut Tanoto Foundation hanya menjadi katalis dan fasilitator untuk penelitian-penelitian mahasiswa.

“Untuk seleksi TSRA kami serahkan ke pihak universitas, karena memang ini menjadi kegiatan riset yang dimotori oleh universitas. Tidak ada hak intelektual menjadi milik Tanoto Foundation,” imbuhnya.

Melalui program tersebut, Aryanti berharap, mahasiswa dapat bebas berkarya dan menciptakan inovasi yang berdampak positif, bermanfaat, dan berkelanjutan.

“Paling tidak program ini menjadi pemicu dan cikal bakal untuk penelitian dan langkah selanjutnya. Itulah inti kami melaksanakan program ini,” ucap Aryanti.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau