KOMPAS.com - Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai pembayaran gaji guru honorer hingga 50 persen menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah sebuah kemunduran secara sistem.
Ia menilai pembayaran tak sejalan dengan semangat penghapusan sistem honorer dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
"Penambahan 50 persen untuk honorer sesungguhnya kontraproduktif dengan keputusan DPR Dan BKN untuk menghapuskan sistem honorer, seharusnya bukan jadi 50 persen tetapi menjadi 0 persen," kata Ramli dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (11/2/2020).
Kepada Kompas.com, ia menilai adanya kenaikan porsi dana BOS, pemerintah daerah akan lepas tangan tentang pembiayaan gaji guru honorer.
Menurutnya, pemerintah daerah berpotensi mengabaikan perancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pendidikan khususunya pembayaran gaji guru honorer.
"Dengan porsi yang makin besar, pemda akan semakin berlepas tangan. Kami lebih sepakat dengan Pak Muhadjir Effendy, bahwa dana BOS seharusnya untuk pembiayaan sekolah di luar honor guru. Karena itu pemerintah pusat jika ingin bantu honorer lewat Pemda, ya, lewat DAU dengan kewajiban pemda memberikan upah kepada guru minimal sama dengan UMR," tambahnya.
Muhadjir saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tercatat pernah mengajukan solusi peningkatan kesejahteraan guru honorer.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta pada bulan Oktober 2019, Muhadjir menyebutkan gaji guru honorer pada tahun 2020 tak diambil dari dana BOS melainkan DAU.
Menurutnya, Kemendikbud seharusnya membiarkan pemerintah daerah memikirkan cara menanggulangi kekurangan guru di daerahnya. Pembayaran gaji guru honorer, lanjutnya, seharusnya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) pemerintah pusat yang diberikan ke pemerintah daerah.
"Di sisi lain penambahan porsi honorer otomatis mengurangi pembiayaan untuk kebutuhan lain yang juga mendesak di sekolah-sekolah," ujar Ramli.
Baca juga: Tata Cara Pelaporan Dana BOS Versi Permendikbud No 8 Tahun 2020
Ia menilai porsi dana BOS belum adil bagi sekolah dengan jumlah siswa sedikit dan kondisi geografis berat. Menurut Ramli, bilangan pembagi di sekolah berjumlah siswa banyak lebih kecil dibanding sekolah dengan jumlah siswa sedikit yang hampir pasti bilangan membaginya besar untuk berbagai kebutuhan.
"Kemungkinan makin banyak kepala sekolah berurusan dengan hukum karena mereka akan diancam untuk membiayai sesuatu meski tak ada posnya dalam dana BOS," tutur Ramli.
Ia menyebutkan pemerintah daerah masih memiliki kekuatan mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah. Selain itu, pemerintah daerah juga masih bisa memerintahkan sesuatu ke Kepsek.
"Seandainya pemerintah pusat melakukan kajian mendalam terkait hal ini, kemungkinan solusinya bisa sekaligus disampaikan dalam episode ketiga Merdeka Belajar ini," tambahnya.
Meski ada catatan kritis, IGI mengapresiasi kebijakan baru tentang penyaluran dan pengelolaan dana BOS tahun 2020. Menurut Ramli, penyaluran dana BOS langsung dari Kementerian Keuangan ke rekening sekolah menjadi hal yang positif.
"Karena daerah terkadang menahan dana BOS dengan berbagai alasan, momentum politik pun kadang jadi faktor pembeda momentum dikeluarkannya," kata Ramli.
Selain itu, dua tahap penyaluran dana BOS dengan total 70 persen pada semester pertama merupakan hal yang positif. Ia menilai adanya rahasia umum yaitu banyak kepsek atau guru nguntang untuk menalangi kebutuhan operasional sekolah.
"Penambahan Rp. 100.000 adalah sisi positif karena memang dana BOS ini sangat terbatas apalagi dengan jumlah honorer yang semakin banyak dan akan lebih parah jika jumlah siswa minim," kata Ramli.