KOMPAS.com - Luka yang timbul akibat kejahatan seksual adalah bentuk stres besar dalam hidup atau bisa dikatakan sebagai trauma. Kondisi itu tidak dapat diremehkan.
Dari kacamata ilmu psikologi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Margaretha Rehulina mengaku, korban kejahatan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional.
Baca juga: Dosen Psikologi Unair Kasih Cara Sikapi Korban Kejahatan Seksual
Bisa melalui psikolog atau psikiater, jika dibutuhkan. Tujuannya adalah membuat korban kejahatan seksual menjadi kuat dan melanjutkan hidupnya kembali.
"Keluarga atau lingkungan masyarakat sangat penting untuk membantu korban. Misalnya bantuan mengakses layanan konseling agar korban dapat melanjutkan hidupnya kembali," ujarnya melansir laman Unair, Rabu (22/12/2021).
Dia menyebut, setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk membantu korban kejahatan seksual menjadi lebih baik lagi.
Berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual, fakta yang terjadi cukup miris.
Pasalnya, orang terdekat seringkali tidak percaya pada cerita korban.
"Jika masih terlalu kecil, dianggap anak-anak membuat fantasi mungkin. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong. Nah ini yang Justru malah menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Akhirnya si korban akan tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual," kata Dosen yang sering disapa nama Retha.
Tahapan berikutnya usai memercayai cerita korban, yakni memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan emosinya.
Perlu dipahami, kata Retha, berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh kita dijarah oleh seseorang.
Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki.
"Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu," ungkap dia.
Baca juga: Pakar UGM: Varian Omicron Belum Tentu Lebih Menular
Retha menyampaikan, kondisi itu berbeda pada setiap orang. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya.
Untuk itu, setidaknya orang terdekat membantu dengan mendengarkan atau memberikan akses kepada konseling profesional.
"Kita perlu menyediakan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan, memahami, dan mengelola emosinya hingga suatu saat dia yang mengendalikan sendiri emosinya," tegas Retha.