Demikian kata-kata itu dilontarkan Prof Yuichi Kondo, Dean of Admissions Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), dalam presentasinya di hadapan para guru Indonesia yang tengah mengunjungi kampus Ritsumeikan APU, Beppu, Jepang, Kamis (27/6/2013). Prof Kondo mengatakan, setiap tahun Ritsumeikan APU menerima 1.300 mahasiswa internasional sehingga pihaknya selalu berupaya menciptakan lingkungan yang benar-benar global.
"Di era globalisasi ini, satu atau dua pemimpin global tidak cukup dan sudah tugas kita untuk menciptakan mereka (pemimpin global). Untuk mendapatkan tujuan itu, kami ciptakan
lingkungan yang benar-benar global. Mereka, para mahasiswa, hidup di tengah perbedaan latar belakang bangsa, bahasa, dan budaya," kata Kondo.
Sebetulnya, jumlah seluruh mahasiswa universitas di Ritsumeikan APU tidak begitu besar. Jumlah total mahasiswanya berkisar 6.000 orang. Mereka terbagi dalam College of Asia Pacific Studies dan International Management. Sampai di titik ini, APU tak jauh berbeda dengan universitas di mana pun.
Namun, satu hal pembeda dengan universitas pada umumnya adalah komposisi mahasiswa dan tenaga pendidiknya. Sekitar 40 persen dari 6.000 mahasiswa APU adalah orang asing non-Jepang. Mereka datang dari 81 negara. Tenaga pendidiknya juga datang dari 28 negara berbeda sehingga inilah yang menjadikan lingkungan APU sebagai "kampus internasional".
Nah, apa yang terjadi seandainya harus melakukan diskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa berbeda-beda?
Santai dan terbuka
Anindya Pradipta, mahasiswa semester II di Asia Pacific Management (APM), Ritsumeikan APU, mengaku, banyak cara dilakukan untuk bisa bergaul dengan mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai bangsa di kampus ini. Menurutnya, ada mahasiswa yang karakternya cenderung keras jika menginginkan sesuatu, ada juga yang egoistis, atau malah bersikap kurang tegas lantaran tak ingin mengecewakan orang lain, dan sebagainya.
"Saya sangat ingin belajar budaya Jepang karena saat ini saya sedang tinggal di Jepang. Saya lihat orang Jepang tidak mau mengecewakan orang lain ketika mereka membuat janji. Itu pelajaran berharga yang saya dapatkan dari teman Jepang saya," kata Anin.
Audi Rahmantio atau disapa Audi sepakat dengan hal itu. Dia menuturkan, untuk menjadi teman dengan orang-orang dari negara lain tidak sulit. Kuncinya cukup bersikap easy going dan open mind.
"Santai dan bersikap terbuka. Perbedaan budaya, bahasa, agama, maupun nilai-nilai dan norma bukanlah masalah pelik untk berteman dengan mahasiswa internasional. Saya tidak pernah peduli asal-usul orang, datang dari mana, atau kehidupan sosialnya seperti apa. Kalau dia baik, tak ada masalah bergaul dengan dia," ucap mahasiswa APM semester IV ini.
Ia mengatakan, seperti halnya bergaul dengan teman dari bangsa sendiri, prinsip don't judge the book by it's cover sangat penting dijadikan kunci bergaul dengan mahasiswa internasional. Tampang urakan atau bad boy dari seorang teman Jepang misalnya, lanjut Audi, bukan ukuran bahwa sifat dan karakternya pun buruk.
"Kalau dari awal kita sudah menilai penampilan dari luar dan berpikir dari mana ia berasal, rasanya akan sulit punya teman bergaul dari negara lain. Soal bahasa, itu pun bisa diasah sambil jalan. Yang penting mau belajar dan tidak malu di depan orang," saran Audi.
Prof Yuichi Kondo mengatakan, bahasa Inggris dan Jepang adalah pengantar resmi dalam kegiatan perkuliahan. Tetapi, di lingkungan kampus Ritsumeikan APU, setiap hari ada lebih dari 81 jenis komunikasi bahasa berbeda ditinjau berdasarkan asal negaranya.
Memang, bagi mereka yang tertarik dengan bahasa negara tertentu, mencari teman dari negara tersebut adalah metode paling jitu. Mudah sekali ditemukan, misalnya, mahasiswa Jepang atau Korea fasih berbahasa Indonesa. Atau sebaliknya, anak Indonesia pintar berbahasa Jepang atau Korea setelah satu dua tahun belajar di kampus ini.
Hal seperti itu sangat mungkin terjadi terhadap bahasa 81 negara asal mahasiswa tersebut. Selain sistem kegiatan perkuliahan di dalam kelas, banyak sekali kegiatan grup diskusi, field study, active learning, internship, dan beberapa aktivitas belajar yang tidak hanya mengandalkan perkuliahan di dalam kelas dan memungkinkan terjadinya interaksi kuat di antara mahasiswa dari beragam budaya tersebut.
"Bayangkan, mereka berinteraksi selama 24 jam dengan mahasiswa asing. Dalam 24 jam ini, mereka tidak semua mendapatkan hal-hal yang baik dan menyenangkan, tetapi juga berargumentasi dengan mahasiswa lain yang mungkin bisa membuat mereka kesal atau bahkan menangis. Tetapi, semua itu demi belajar hidup di dunia baru mereka, dunia internasional," ujar Kondo.
Prof Kondo mengatakan, posisi Indonesia sangat penting bagi Jepang, terutama ketika integrasi Asia benar-benar telah terwujud. Anak-anak Indonesia kelak bisa bekerja di lintas kota, seperti Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapura.
"Karena itulah, kami arahkan mereka di sini untuk siap berkompetisi, berkembang menjadi pemimpin global," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.