Pendiri taman bacaan masyarakat Warabal atau Warung Baca Lebak Wangi, Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini memang menjadikan buku sebagai senjatanya untuk memajukan Indonesia.
Melalui koleksi buku di taman bacaan miliknya, Kiswanti berharap setiap masyarakat mendapatkan akses pendidikan yang sama. Dengan begitu, semua warga dapat menjadi manusia terdidik, baik mendidik diri sendiri maupun mendidik orang lain.
Perempuan kelahiran Bantul, DI Yogyakarta, 4 Desember 1963, menceritakan bahwa di daerah tempat ia tinggal, di Lebak, angka buta aksara justru terjadi pada mereka yang memasuki usia lanjut, yaitu di atas 70 tahun. Kebanyakan dari mereka hanya menguasai huruf-huruf kuno.
Kiswanti mengaku, upayanya sangat dilandasi prinsip tak mengenal usia dan warna kulit. Sebagai penganut Islam, ia juga memercayai bahwa ajarannya mengatakan kalau setiap orang berkewajiban untuk menuntut ilmu, mulai dari dalam kandungan hingga di liang lahat. Oleh karena itu, Kiswanti merasa memiliki tanggungan untuk mengajari para lansia dengan menumbuhkan minat baca.
"Tapi, dengan syarat, hanya untuk mereka yang mau. Tugas kita menstimulus dan merangkul mereka biar mau belajar. Saya yakin, semua yang kita lakukan dengan kebaikan pasti akan menghasilkan kebaikan. Yang jelas, kita menikmati proses itu. Kalau hasil dari proses itu baik, jadi bonus buat kita," cerita Kiswanti kepada Kompas.com di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (11/10/2013).
Niat, rencana, dan mental kuat
Mendirikan sebuah taman bacaan yang tadinya hanya beralaskan papan, dan kini layaknya sebuah gedung di Lebak, bukanlah perkara mudah bagi Kiswanti. Semua pengalaman, baik yang bagus maupun yang buruk, dijadikannya sebagai pengalaman berharga. Untuk melakukan sesuatu, menurut dia, harus dimulai dengan niat, rencana, dan mental yang kuat. Jangan sampai, dimulai dari hati, tapi perilakunya malah tidak dilandaskan dengan hati.
Kiswanti memberi contoh soal permasalahan tidak memiliki buku. Ia mengaku tidak punya uang untuk membeli. Nyatanya, dengan tekad bulat, persoalan ini bisa ia siasati. Kiswanti mencari pengadaan buku-buku di tukang loak koran, majalah, serta buku-buku bekas.
"Kita punya niat dan rencana, dan tak kalah penting antisipasi untuk berjaga-jaga kalau nanti saat di perjalanan kita tersandung, lalu jatuh. Jadi, selain niat, mental juga harus kita siapkan dulu," katanya.
Tumbuh sebagai seorang anak yang hanya lulusan sekolah dasar tak membuat Kiswanti patah semangat untuk terus belajar. Keterbatasan ekonomi yang dihadapi keluarganya tak menjadi batasan kegemarannya membaca segala jenis buku.
Pendidikan formal di sekolahnya diganti dengan pendidikan yang diajarkan oleh sang ayah, Trisno Suwarno. Kiswanti bertutur, ayahnya biasa berperan menjadi guru di rumah apabila telah selesai bekerja sebagai penarik becak. Upah hasil menarik becak juga digunakan untuk membeli berbagai jenis buku.
Alternatif belajar seperti itu terus diikuti oleh Kiswanti hingga ia dewasa. Selain mengandalkan upah ayahnya, Kiswanti juga memiliki cara lain agar terus dapat menambah koleksi buku dan mewujudkan taman bacaan. Misalnya, ia bekerja menjadi pengupas kacang tanah dan melinjo. Dari pekerjaan mengupas satu kilogram kacang itu ia mendapat upah Rp 7,5. Kiswanti bilang, walaupun hasilnya sedikit, ia senang menjalankan proses tersebut sehingga tidak merasa terbebani.
Ia mengaku, meski tak sekolah, dirinya rajin membaca pelajaran setingkat SMP-SMA. Jika tak mengerti, ia bertanya kepada tetangganya yang berprofesi sebagai guru. Karena kecerdasan otaknya menangkap ilmu, Kiswanti sering kali menjadi tempat bertanya teman seusianya yang justru bisa melanjutkan sekolah. Tak heran, saking semangatnya, hingga saat ini Kiswanti masih tetap berniat bisa mendirikan sebuah perpustakaan gratis.
Cita-cita itu bukan tanpa dasar yang kuat. Kiswanti pun menceritakan kembali pengalaman masa kecilnya. Sewaktu masih kanak-kanak, hasratnya menjadi anggota perpustakaan sudah ada. Namun, muncul sebuah pertanyaan dalam benaknya. Mengapa untuk menjadi seorang anggota, harus dikenakan biaya?