Inilah... Seribu Satu Kisah Penerima Beasiswa Bidikmisi!

Kompas.com - 01/03/2014, 15:52 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com - Bersamaan dengan acara silaturahim penerimaan Bidikmisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyerahkan buku kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus meluncurkan buku berjudul 'Kebangkitan Kaum Duafa, Bidikmisi Memutus Mata Rania Kemiskinan'. Buku ini berisi sebagian kisah para penerima Bidikmisi. 

Disebutkan dalam buku itu, ada dua hambatan besar anak-anak keluarga miskin tidak memasuki gerbang pendidikan tinggi. Pertama, jelas betul, faktor ketiadaan biaya. Kedua, yang merupakan dampak dari faktor pertama, anak-anak keluarga miskin kebanyakan tidak berani mencanangkan impiannya hingga tinggi.  

Untungnya, kini pintu-pintu akses pendidikan untuk mereka telah dibuka, bahkan akses tersebut akan senantiasa ditingkatkan efektivitasnya. Program bantuan Bidikmisi adalah salah satu di antaranya.

Bidikmisi adalah program bantuan biaya pendidikan yang diberikan Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada mahasiswa dari keluarga ekonomi terbatas tapi memiliki potensi akademik memadai.
Sejak pintu akses dibuka pada 2010, sebanyak 149.180 mahasiswa (sampai tahun akademik 2013/2012) anak keluarga miskin dapat mengenyam pendidikan tinggi di berbagai kampus terkenal di Indonesia, termasuk di perguruan tinggi swasta yang dimulai sejak 2012. Mereka terbukti dapat mengikuti perkuliahan dengan baik, bahkan banyak di antara mereka yang mampu berprestasi.

Saharuddin misalnya, peraih IP 4,00 dari Politeknik Negeri Pangkep dan didapuk mahasiswa yang lulus paling. Padahal, dia berasal dari keluarga petani miskin.

Tirza Puji Syukur asal Bojonegoro pun demikian. Puji selama lima semester berturut-turut di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mampu mempertahankan IP 4,00. Rekannya, sesama penerima Bidikmisi dari fakultas dan universitas yang sama, Risma Pratiwi, juga mampu mengukir prestasi IPK 3,9. Itu juga yang diraih oleh Ria Rossi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada dengan IPK 3,97.

Winda Patrani Senduk memperoleh IPK 3,93. Peserta Bidikmisi angkatan 2011 asal Sulawesi Utara ini kuliah di Universitas Manado Program Studi Pendidikan Ekonomi. Masih dari Sulawesi Utara, ada Markus Pantouw yang menimba ilmu di Politeknik Negeri Manado, Program Studi D4 Akuntansi Keuangan. Pria kelahiran Desa Talawaan, Kab. Minahasa Utara, ini masuk tahun 2011 dengan IPK 3,89.

Bagai keajaiban

Selain prestasi akademik, penerima Bidikmisi ternyata juga mendapat berbagai penghargaan dan aktif mengikuti organisasi kampus dan kegiatan berskala nasional, bahkan internasional. Rina Febriyani, mahasiswi Pendidikan Akuntansi Universitas Pedidikan Indonesia (UPI) Bandung misalnya. Rina dapat mengikuti International Cultural Summit, Indonesia Model of United Nation (IMUN), juga acara kepemudaan Global Youth Voice Conference.

Tak hanya Rina. Prestasi lainnya juga diraih Septi Setiawati, mahasiswi Politeknik Bandung, Program Studi D3-Teknik Informatika mendapat Medallion for Excellence dari London dalam rangka Worldskills Competition 2011. 

Memang, bagi para penerima Bidikmisi, program beasiswa tersebut merupakan berkah dan anugerah tak terkira. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai sebuah keajaiban, Tuhan Maha Kaya.

Betapa tidak. Mereka adalah anak-anak miskin dari berbagai daerah Indonesia, termasuk dari daerah terpenci. Mereka, seolah-olah, dipersilakan seketika untuk memasuki pintu gerbang perguruan tinggi di kota dengan gratis. Bahkan, mereka juga mendapatkan uang saku atau biaya hidup.

Ya, kisah-kisah kebahagiaan dan rasa bersyukur mereka memang tergambar kuat di buku ini. Mereka bertutur tentang kondisi keluarga, himpitan ekonomi, dan impian yang kini berani dipeluknya. Kisah mereka begitu menyentuh dan inspiratif, karena yang mereka sampaikan adalah realitas, bukan sekadar retorika indah buatan para motivator.

Mereka juga pontang-panting mengurus segala persyaratan, mulai dari foto keluarga, foto rumah, maupun surat keterangan tidak mampu (SKTM). Bahkan, ada yang nyaris gagal hanya lantaran tak bisa menunjukkan fotokopi surat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bagaimana bisa punya, rumah sederhana yang dihuni itupun statusnya cuma mengontrak? Calon mahasiswa ini juga harus lari ke warnet untuk mendaftar secara online atau tidur di musala karena tak punya sanak saudara di kota.

Yang penting sekolah

Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau